66 views 12 mins 0 comments

Memahami Aksi Protes: Akar Masalah, Pemicu, dan Distrosi

In Kolom
September 07, 2025

Era Baru Protes: Pedang Bermata Dua Bernama AI

Di era kecerdasan buatan (AI), apakah aksi protes akan lebih mudah digerakkan?

Pada tahun 2025, protes tidak lagi hanya berbentuk kerumunan fisik di jalanan. Kini, protes juga berlangsung di layar ponsel kita. Sebuah tagar di Twitter atau Instagram bisa menjelma menjadi petisi raksasa. Satu kalimat pendek, diberi tanda pagar seperti #KeadilanUntukAffan, dapat bergerak lebih cepat daripada selebaran atau poster fisik, menyatukan jutaan orang dalam hitungan jam.

Siaran langsung di TikTok atau YouTube membuat kekerasan aparat tidak bisa lagi disembunyikan. Jika ada seorang demonstran dipukul, dalam hitungan detik, jutaan mata di seluruh dunia bisa menyaksikannya. Rekaman itu akan hidup abadi di internet, menjadi saksi sekaligus bukti yang tak terbantahkan.

Kecerdasan buatan (AI) pun kini ikut terlibat. AI dapat digunakan untuk menganalisis pola kerusuhan: siapa yang memulai, bagaimana massa bergerak, bahkan memprediksi lokasi bentrokan berikutnya.

Namun di balik semua itu, teknologi bukanlah malaikat. Ia adalah pedang bermata dua. Algoritma media sosial bisa memperparah perpecahan dengan menciptakan echo chamber—ruang gema di mana orang hanya mendengar pendapat yang sama dengan kelompoknya. Akibatnya, yang moderat bisa menjadi radikal, dan yang radikal bisa semakin keras.

Lebih berbahaya lagi adalah kemunculan deepfake: video palsu yang sangat meyakinkan. Seseorang bisa terlihat seolah-olah mengucapkan kata-kata yang tidak pernah ia ucapkan. Atau, aparat bisa tampak menembak massa, padahal rekaman itu adalah buatan. Deepfake bisa menyesatkan, menyalakan api kebencian yang salah arah, dan menghancurkan kepercayaan publik.

Pelajaran dan Peringatan

Aksi protes dan kerusuhan di akhir Agustus 2025 hanyalah satu bab dari sejarah bangsa. Semoga ia menjadi pelajaran berharga, bukan sekadar luka yang membekas. Semoga ia bukan api dalam sekam yang hanya bersembunyi, menunggu untuk meledak lagi. Ini hanya bisa terjadi jika kegelisahan ekonomi masyarakat benar-benar terobati.

Sejarah selalu menulis dengan tinta merah: rakyat yang gelisah secara ekonomi tidak akan pernah bisa dibungkam. Dari Bastille di Paris hingga Tahrir Square di Kairo, dari Gdańsk di Polandia hingga jalanan Jakarta, suara mereka akan selalu menemukan jalannya.

Pada akhirnya, legitimasi sebuah negara tidak hanya ditopang oleh gedung-gedung megah, jargon-jargon politik, atau laporan ekonomi yang indah di atas kertas. Legitimasi itu harus juga berdiri kokoh di atas meja makan rakyat. Selama nasi masih tersaji, harapan tetap terjaga, dan perut tak lagi kosong, rakyat akan memilih untuk percaya. Namun, bila meja makan itu kosong, sejarah telah membuktikan: rakyat akan bangkit, dan suara mereka akan lebih keras daripada segala barikade kekuasaan.


Jakarta, 4 September 2025

Referensi:

  1. Isabel Ortiz, Sara Burke, Mohamed Berrada, Hernán Cortés Saenz. World Protests 2006–2013. Initiative for Policy Dialogue & Friedrich-Ebert-Stiftung, 2013.
  2. James C. Davies. When Men Revolt and Why. Free Press, 1971.

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World.

Oleh Denny JA