
Dalam konteks era digital seperti hari ini, kemampuan menjaga lisan dapat termanifestasikan dalam kehati-hatian kita dalam produksi konten di media digital, khususnya media sosial, meliputi komentar, like, subscribe, dan penyebaran konten-konten yang berisi hoax, fitnah, ghibah, dan hal-hal yang tidak sejalan dengan ketentuan agama serta bisa jadi merugikan orang lain.
Tidak jarang muncul masalah yang bisa mengganggu harmoni, bahkan mencelakakan diri, karena bermula dari lisan yang tak terjaga. Karena lisan dan jempol yang tidak terkontrol, bisa menjerumuskan seseorang ke dalam dosa dan hina, bahkan bisa berhadapan dengan hukum dan berakhir di penjara.
Saat momentum mudik lebaran; bertemu dengan keluarga, dan sanak saudara, tujuan utamanya adalah silaturrahim, merekatkan hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, tujuan mulia silaturrahim bisa sirna hanya karena lisan yang tak terjaga.
Karena itu, bagian dari taruhan integritas kita adalah jaga lisan kita, dengan cara tidak menjelek-jelakan orang lain, tidak menyakiti perasaan orang lain, tidak melakukan body shaming kepada orang lain, dan tidak menghina orang lain. Karena orang yang menghina belum tentu ia lebih mulia di hadapan Allah.
Allah SWT berfirman dalam QS al-Hujurat ayat 11: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Yang kedua, komitmen kejujuran. Kita dituntut untuk senantiasa berlaku jujur dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam hubungan pribadi, keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat. Rasulullah SAW juga mengajarkan kita untuk selalu menjaga kejujuran dan amanah, karena dalam kejujuran terdapat keberkahan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Kalian harus berlaku jujur. Karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur dan berusaha menjaga kejujuran akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur di sisi Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Puasa mengajarkan nilai kejujuran yang ditanamkan dalam diri setiap orang yang berpuasa. Setiap orang yang berpuasa karena Allah, ia jujur kapan memulai dan kapan mengakhiri. Tidak berani untuk khianat, dengan mengurangi durasi waktu, walau sedetik saja. Tak ada yang mengetahui hakekat puasanya setiap kita kecuali diri kita dan Allah SWT.
Karena itulah Allah SWT memberikan balasan spesial terhadap ibadah puasa, dalam hadis qudsinya:“Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung.”(HR Bukhari).
Bagaimana firman itu dipahami? Imam an-Nawawi telah menyebutkan beberapa pendapat para Ulama salaf dalam penjelasan mengenai hal ini. Dijelaskan bahwa puasa adalah ibadah yang hanya dilakukan untuk Allah SWT semata, tidak ada orang musyrik yang mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka dengan cara berpuasa.
Ibadah puasa juga jauh dari riya’ (pamrih, ingin dilihat orang) karena sifatnya yang tersembunyi. Tidak ada yang mengetahui hakekat puasa kecuali dirinya dan Allah SWT. Puasa berbeda dengan shalat, zakat, dan juga haji, yang memungkinkan orang menunaikannya karena pamrih manusia.
Salah satu sifat jujur yang diapresiasi adalah kejujuran untuk mengakui kesalahan. Tidak ada seorangpun terbebas dari kesalahan dan dosa; baik penguasa maupun rakyat jelata; ulama dan orang awamnya; pejabat maupun pegawainya. Seluruh kita pernah berbuat salah dan dosa, baik dosa kepada Pencipta maupun kepada sesama manusia. Namun, sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.
Nabi SAW bersabda, “Setiap anak adam itu memiliki kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang bertaubat.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Imam al- Nawawi dalam kitab Al-Adzkar (2/845) menjelaskan, ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah. Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat; (i) berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga. (ii) menyesali perbuatannya; dan (iii) berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi.
Sementara itu, jika kesalahan itu terhadap sesama manusia, maka di samping ketiga syarat di atas, harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dengan cara, apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut atau meminta diikhlaskan; dan apabila menyangkut non-materi seperti memfitnah, melakukan ghibah, menipu, dan sejenisnya maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.
Komitmen integritas diri kita diuji, sejauh mana kemauan, kemampuan dan keberanian kita untuk mengakui kesalahan, bertaubat, dan kemudian memberi maaf kepada orang lain, sekalipun orang lain tidak memintanya.
Dalam konteks ini, sebagai orang yang memiliki kesalahan harus terlebih dahulu berinisiatif untuk meminta maaf. Sebaliknya, tanpa diminta, kita berinisiatif untuk membuka pintu maaf dan selalu siap memaafkan. Bisa jadi, saat interaksi sosial, termasuk pekerjaan profesional kita, kita menyinggung, menyindir, dan/atau menyakiti orang lain, sengaja atau tidak sengaja, saatnya kita proaktif meminta maaf dan melakukan perbaikan diri.
Sebaliknya, kita buka dada kita lebar-lebar untuk memaafkan orang yang bersalah kepada kita, memfitnah kita, menjelekkan kita, tanpa harus menunggu orang lain meminta maaf. Sikap kesatria ini akan menyebabkan kemuliaan dan integritas kita, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW, “Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan Tidaklah Allah menambah seorang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang yang tawadlu’ (merendahkan diri) kepada Allah kecuali ditinggikan derajatnya oleh Allah.” (HR. Muslim).
Kejujuran juga merupakan salah satu tanda ketakwaan seseorang kepada Allah SWT, yang menjadi ciri utama dari integritas, sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Taubah ayat 119: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
