139 views 12 mins 0 comments

Membangun Relasi Kerja Bermartabat dan Welas Asih

In Internasional
May 06, 2025

Suara lain yang penting dari sarasehan itu diutarakan oleh Ajeng, seorang dari program Au Pair. Ajeng menceritakan kisah Au Pair di Belanda rupanya tidak selalu berisi kisah menyenangkan tentang sinar matahari dan pelangi.

Kisah Ajeng sendiri diselimuti langit mendung dan kelam. Au Pair yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti balas jasa adalah program bagi anak muda umumnya usia 18 hingga 30 tahun yang ingin memperdalam kemampuan berbahasa asing dan budaya di negara yang dituju. Peserta Au Pair akan ditampung oleh host family yang juga akan menanggung biaya hidup selama peserta tinggal termasuk menyediakan kamar, makan dan biaya untuk mengikuti sekolah bahasa serta uang saku bulanan bahkan hak untuk berlibur.

Sebagai timbal balik, peserta Au Pair biasanya diminta berperan sebagai kakak; mengantar dan menjemput sekolah; menyiapkan bekal makanan bagi anak-anak yang dimiliki host family dan bekerja maksimal 8 jam sehari (Senin-Jumat).

Namun di dalam kisah Ajeng, dia mengutarakan peran sebagai penjaga telah berubah menjadi nanny bahkan pembantu rumah tangga. Dia harus bekerja dari jam enam pagi hingga 8 malam bahkan lebih, dengan perlakuan yang menurutnya sangat merendahkan.

Ajeng mengungkapkan perasaannya di sarasehan itu agar ada perbaikan tata kelola Au Pair antara pemerintah Belanda dan Indonesia yang dapat menjamin hak-hak peserta Au Pair lebih jelas dan tidak disalahgunakan sebagai cara mencari tenaga kerja domestik yang murah.

Aspirasi dari asosiasi perawat Indonesia di Belanda disampaikan oleh Ahmad Sapoan. Menurutnya ada sekitar 200-300 perawat aktif yang ada di Belanda. Namun saat ini terjadi kondisi penghentian pengiriman perawat dikarenakan ada gerakan protes di media Belanda dari unsur perawat yang kemudian membuat kesepahaman yang telah susah payah dibangun untuk sementara dihentikan.

Sementara itu kondisi paling terakhir dari perawat adalah adanya penipuan tenaga kesehatan perawat yang dikirim ke Belanda dan lembaga pendidikan yang menampung dan mensponsori perawat Indonesia di Belanda dianggap pihak imigrasi Belanda tidak legal dan peserta akan dicabut izin tinggalnya pada bulan Juli mendatang.

Sapo meminta tata kelola di level pemerintah harus lebih diperbaiki agar generasi perawat Indonesia yang sudah bekerja di Belanda selama hampir tiga dasawarsa lebih dapat terus berkembang karena profesi perawat sangat dibutuhkan di Belanda.

Syafiih Kamil dari ASPINA, serta Heri Kurniawan dan Didin Fachrudin, perwakilan dari pengusaha menceritakan profil ASPINA yaitu asosiasi pengusaha Indonesia di Belanda dan data bahwa sudah ada 450-an rumah makan Indonesia di Belanda serta seluk-beluk usaha rumah makan Indonesia di Belanda.

Didin Fachruddin menekankan tantangan pengusaha rumah makan Indonesia di Belanda masih berkutat soal regulasi ketenagakerjaan dan pajak, legalitas dokumen dan kontrak kerja serta pelatihan dan adaptasi budaya kerja. Selama ini agak susah bagi pemilik warung mendapatkan tenaga kerja pemasak Indonesia yang bagus melalui jalur legal karena kendala regulasi dan pajak yang sangat tinggi.

Ada dua poin penting dari ketiga orang itu yang diutarakan di sarasehan. Mereka menekankan hubungan diaspora Indonesia di dalam sektor bisnis yang dianggap masih renggang, belum kompak dan belum saling membantu.

Kedua, khususnya Heri Kurniawan menyampaikan perlu ada hubungan kerja antara majikan pemilik warung dengan pekerjanya dari Indonesia yang lebih baik. Dia menyinggung kasus hukum pidana yang terjadi dua tahun lalu yang melibatkan pemilik warung Indonesia dengan pekerjanya yang juga orang Indonesia di pengadilan Belanda.

Heri menyesalkan kasus hukum itu harus terjadi karena jelas kasus itu memukul dan membuat trauma kedua belah pihak baik baik pengusaha dan pekerja. Dia mengusulkan tidak ada lagi sesama orang Indonesia yang saling merugikan.

Dia berharap forum sarasehan menjadi forum koordinasi antara pekerja dan pemberi kerja untuk bisa duduk bersama dan menempuh jalur mediasi jika terjadi perselisihan hubungan kerja atau sebagai forum untuk terus membangun hubungan kerja yang lebih baik.

Di ujung sesi, keseluruhan peserta sepakat bahwa sarasehan akan menjadi forum bersama yang rutin akan mereka lakukan setiap enam bulan sekali untuk terus menjawab kebutuhan dan tantangan pekerja dan pengusaha.

Misalnya forum sarasehan itu melihat urgensi perlunya bagi mereka mengusahakan dibangunnya shelter sebagai tempat perlindungan bagi pekerja yang mengalami krisis dan kerentanan di dalam relasi bekerja. Lalu perlunya pusat pelatihan bahasa bagi para pekerja untuk meningkat kemampuan bahasa dan sertifikasi bahasa sebagai daya tawar yang penting untuk membangun karir bekerja di Belanda.

Menurut keterangan panitia seluruh kegiatan sarasehan tersebut dilakukan sukarela dan gotong royong oleh diaspora Indonesia yang ada di Belanda. Sarasehan itu telah diperam ideanya dan dipersiapkan selama dua bulan lebih melalui serangkaian pertemuan-pertemuan persiapan. Di dalam persiapan hingga puncak sarasehan tersebut semua unsur komunitas terlibat mewujudkan sarasehan tersebut sebagai hajatan kolektif milik bersama.* (Hertasning Ichlas)