
Ketika rudal Israel menghantam Gaza, dan hanya Iran yang merespons lewat Hizbullah dan Yaman, pertanyaannya bukan lagi: apakah Iran Syiah? Tapi: siapa lagi yang masih punya keberanian?
Logika Felix tidak berdiri di atas fakta, tapi di atas ketakutan. Ia takut Syiah memengaruhi umat. Ia takut solidaritas lintas mazhab merusak batas-batas ideologis. Maka ia hancurkan jembatan, dan menggali parit.
Padahal musuh kita bukan Syiah. Bukan Sunni. Tapi Zionis, yang menjajah bumi suci dan mengusir penduduknya. Jika ada satu negara yang berani berkata lantang melawan Israel, mengapa kita malah menyerangnya?
Sejarah tak akan mencatat siapa yang paling lantang menuduh sesat. Tapi ia akan mencatat siapa yang mengirim bantuan saat Gaza terbakar. Dan dalam catatan itu, Iran hadir.
Iran hadir bahkan ketika sekutunya diserang. Ketika pangkalan militernya disabotase. Ketika jenderalnya dibunuh. Dan tetap mengangkat bendera Palestina. Ia hadir di Damaskus, di Baghdad, di Beirut, dan bahkan di pinggiran Sinai, dalam bentuk sinyal, logistik, dan jaringan intelijen. Kehadirannya bukan simbolis. Ia substansial.
Sementara itu, negara-negara yang mengaku pembela Islam sibuk membuka jalur dagang, mencetak visa bisnis, dan membangun hotel bersama pengusaha Tel Aviv.
Felix menyebut Iran bukan Islam. Tapi bagaimana mungkin sebuah negara yang mendirikan Hari Al-Quds secara resmi, yang konstitusinya menolak Israel, yang rakyatnya mengarak bendera Palestina tiap Jumat, disebut di luar barisan umat?
Mungkin karena bagi Felix, Islam bukan soal keberpihakan. Tapi soal warna mazhab. Dan di situlah kesalahannya menjadi luka. Karena umat tak pernah menanyakan kamu Ja’fari atau Syafi’i ketika anak-anak mati di Gaza. Mereka hanya bertanya: siapa yang datang? Siapa yang melawan?
Ia tidak datang dari Riyadh. Tidak dari Abu Dhabi. Tidak dari Amman, apalagi Mesir. Ia datang dari Teheran, Dari Lebanon, dan saat ini dari Yaman, membawa rudal dan doktrin yang tak tunduk.
Bahkan dalam serangan langsung Iran ke Israel pada 2024—yang pertama dalam sejarah modern—alasan utama bukan hanya pembalasan, tapi pesan simbolik bahwa penjajahan tidak akan dibiarkan tanpa jawaban.
Serangan itu, dengan lebih dari 300 drone dan rudal, menjadi alarm paling keras bagi Tel Aviv sejak 1948. Dan itu bukan dari negeri Arab. Itu dari negeri Syiah, yang selalu dikucilkan dari forum-forum Sunni.
Apakah itu bukan pembelaan terhadap Palestina? Apakah itu hanya soal basis militer Iran yang diserang? Jika ya, mengapa serangan diarahkan ke wilayah Israel, bukan hanya fasilitas militer Amerika?
Felix melewatkan ini. Atau memilih melewatkannya. Karena mengakuinya berarti menyamakan musuh bersama. Dan itu terlalu berat bagi agenda sektarian.
Ia menyebut Syiah sebagai musuh, tanpa menyebut normalisasi UEA dan Bahrain. Ia menyebut Teheran sesat, tapi diam atas Riyadh yang menyambut kunjungan Menlu Israel bagai budak menyambut tuannya.
Dan ini lebih dari sekadar bias sejarah, logika yang culas, ini adalah pengkhianatan terhadap kebenaran. Bahwa di antara para penyeru tauhid, ada yang justru membela yang membantai tauhid di tanah suci Palestina.
Kita tak butuh pembela yang setengah-setengah. Kita butuh kejelasan. Bahwa musuh utama umat bukanlah perbedaan mazhab, tapi penjajahan yang terus dibiarkan oleh dunia Islam sendiri.
Dalam buku sejarah yang akan ditulis ulang kelak, nama Felix mungkin tak akan tercantum. Tapi kata-katanya akan tetap menjadi jejak: bahwa pernah ada seorang dai yang lebih percaya pidato Netanyahu ketimbang suara rakyat Gaza.
Dan jika itu bukan ironi paling getir dalam sejarah dakwah modern, entah apa lagi yang lebih layak disebut sebagai kemunduran akal umat.
Barangkali bukan hanya sejarah yang akan menghakimi. Tapi juga para anak yang mati tanpa selimut di Gaza. Mereka tak akan bertanya kamu Syiah atau bukan. Mereka hanya akan bertanya: mengapa kamu diam?
Mereka yang menjawab pertanyaan itu bukanlah mereka yang paling fasih berceramah. Tapi yang datang, mengirim, menolong, dan berdiri di sisi yang tertindas. Dan Iran ada di sana. Seperti yang ditulis Goenawan Mohamad: kadang yang paling terang tak butuh teriak. Ia hanya perlu hadir, ketika yang lain pergi.
Karena kebenaran, pada akhirnya, bukan milik yang paling nyaring. Tapi yang paling konsisten. Dan suara Iran, untuk Palestina, masih tetap terdengar. Meski kadang dari bawah tanah, kadang dari langit malam.
Kita semua akan ditanya kelak, bukan tentang mazhab. Tapi tentang keberpihakan.
Di tahun-tahun ketika dunia Arab sibuk membangun pencakar langit dan membungkam suara ulama, Iran diam-diam menyuplai drone ke Gaza. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk bertahan.
Di waktu yang sama, banyak dai memilih diam. Mereka mengutuk Israel tapi memeluk tangan para normalisator. Mereka mengangkat spanduk Palestina, tapi menolak berbicara soal Teheran.
Karena bagi mereka, kebenaran harus datang dari satu mazhab. Selebihnya dianggap ancaman. Selebihnya dianggap bukan bagian dari jamaah.
Tetapi para pejuang di Gaza, di Rafah, di Khan Younis, tak menanyakan itu. Mereka tahu dari mana senjata datang. Mereka tahu siapa yang mengirim sinyal komunikasi saat Israel memutus jaringan.
Dan tak ada satu pun dari mereka yang menyebut Riyadh. Yang mereka sebut adalah nama-nama dari Quds Force, dari Lebanon, dari Damaskus dibawah kepemimpinan Bashar. Dan, mereka semua terhubung dengan Iran.
