189 views 17 mins 0 comments

Membongkar Kesesatan Berpikir Felix Siauw Soal Iran dan Palestina

In Kolom
June 23, 2025

Felix mungkin belum pernah mendengar bahwa ketika pemimpin Hamas bertemu Ayatollah Khamenei, mereka tak membahas fiqih. Mereka membahas logistik. Mereka bicara perbatasan, bukan perbedaan.

Karena saat peluru menembus dinding rumah, yang dibutuhkan bukan khutbah sektarian, tapi dukungan konkret. Dan itu yang datang dari negeri yang ia sebut bukan bagian dari Islam.

Iran menyuplai sistem navigasi, melatih komunikasi elektronik, mengajari pembuatan drone murah. Dan semua itu berlangsung diam-diam. Tanpa siaran. Tanpa perlu disebut dalam khutbah Jumat.

Sejak 1979, lebih dari 20.000 warga Iran gugur dalam perang melawan Irak yang didukung Amerika dan negara Arab. Tapi Iran tidak berhenti. Ia tetap kirim rudal ke Lebanon. Ia tetap buka jalur rahasia ke Gaza.

Sementara itu, negeri-negeri Sunni sibuk membangun stadion, menyelenggarakan konser, dan menyambut turis Israel. Palestina dijadikan simbol di poster, tapi dikubur di meja perundingan.

Adakah yang lebih kejam dari menuduh orang yang menolong sebagai bukan saudara? Adakah yang lebih culas dari menyamakan penjajah dengan pembebas hanya karena beda doktrin?

Dalam sejarahnya, Iran tidak pernah menjajah negeri Muslim lain. Tapi beberapa yang kini mengklaim Islam justru melapangkan jalan bagi penjajah dengan dalih investasi.

Ketika Qassem Soleimani dibunuh oleh drone Amerika, banyak pejuang di Gaza menangis. Mereka tahu siapa jenderal itu. Mereka tahu siapa yang membuat terowongan mereka tak runtuh.

Felix tidak tahu. Atau pura-pura tak mau tahu. Ia sibuk membaca kitab yang ia putar sesuai kebutuhan, bukan medan yang penuh darah dan serpihan.

Bahkan Presiden Mahmoud Abbas—yang sering dikritik terlalu lunak—pernah mengakui bahwa tanpa Iran, perlawanan bersenjata di Gaza akan lumpuh. Itu pengakuan yang tak keluar dari siapapun. Melainkan dari pemimpin Palestina.

Orang-orang seperti Felix mungkin lebih nyaman bicara bid’ah daripada bicara Zionisme, lebih nyaman membahas negara Islam sebagai cita-cita. Bahkan, mereka lebih seru debat sesat-menyesatkan ketimbang memperdebatkan negara-negara arab melakukan kontrak dagang dengan Israel. 

Dan di antara semua absurditas itu, Felix berdiri, mengutip musuh, menyalahkan kawan, dan menukar keberpihakan dengan propaganda.

Dan sejarah, seperti biasa, tidak akan mencatat semua nama. Tapi ia akan menggarisbawahi beberapa—bukan karena ketokohannya, tapi karena keterlanjurannya. Felix, dalam hal ini, bukan sekadar dai yang keliru. Ia adalah simbol dari betapa rendahnya keberanian intelektual bisa jatuh, ketika nalar lebih memilih sektarianisme daripada kebenaran.

Ia menjadi suara yang menyerang pembela Palestina, dan diam terhadap penjajahnya. Ia mengutip musuh umat untuk menyerang sesama umat. Ia lebih percaya pada propaganda Netanyahu daripada fakta-fakta yang hidup dan berdarah di Gaza. Di situ, Felix tak lagi sekadar keliru. Ia menjadi aib sejarah. Ia menjadi poster dari logika jongkok yang malu mengaku siapa musuh sebenarnya.

Dan entah ia sadar atau tidak, mulutnya kini menjadi corong bagi mereka yang menindas. Ucapan-ucapannya bukan sekadar salah, tapi berbahaya. Karena mengaburkan peta kebenaran di tengah perang yang butuh ketegasan. Ia tidak sedang memperjuangkan Islam, tapi sedang meminjam bendera Islam untuk melawan para pejuangnya. Itu bukan sekadar ironi. Itu tragedi.*

M. Fazwan WasahuaSekretaris Jenderal DPP KPN.