
JAKARTA – Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan solidaritas serta dukungan penuh terhadap sekelompok nelayan migran Indonesia yang mengajukan gugatan terhadap perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Bumble Bee Foods, pada Rabu, 12 Maret 2025, pagi waktu setempat.
Gugatan ini berdasarkan pada Undang-Undang tentang Reautorisasi Pelindungan Korban Perdagangan Manusia (Trafficking Victims Protection Reauthorization Act) TVPRA. Gugatan ini menyoroti dugaan kerja paksa dan perdagangan orang yang dialami para penggugat, yang terjadi selama mereka bekerja di kapal penangkap ikan tuna, yang hasil tangkapannya dijual oleh Bumble Bee Foods di AS.
Dugaan kerja paksa yang diperinci dalam gugatan meliputi kekerasan fisik dan emosional, cedera parah yang tidak diobati hingga menyebabkan kecacatan, jeratan utang, jam kerja berlebih dan gaji yang tidak dibayar, serta ancaman finansial terhadap keluarga korban. Gugatan ini diyakini sebagai yang pertama terhadap industri seafood di AS berdasarkan TVPRA.
Bagi SBMI dan Greenpeace Indonesia, keberanian para nelayan migran ini menjadi momen bersejarah bagi perjuangan penegakan keadilan bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) migran Indonesia yang rentan terhadap eksploitasi dalam rantai pasok industri perikanan global.
Sejak beberapa waktu silam, kedua organisasi tersebut telah menerbitkan serangkaian hasil investigasi mendalam dan melakukan berbagai upaya untuk mendorong perbaikan regulasi yang berkaitan dengan pelindungan AKP migranIndonesia.
“Berkaca dari laporan-laporan yang SBMI tangani, AKP migran menghadapi dugaan praktik kerja paksa sejak sebelum keberangkatan, selama bekerja di atas kapal, hinggas etelah mereka pulang ke Indonesia,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno.
“Proses perekrutan yang eksploitatif menjadi salah satu akar permasalahan utama–biaya tinggi yang tidak transparan, praktik penampungan tidak manusiawi, serta berbagai tipu daya berupa janji-janji menggiurkan, penipuan dan pemalsuan dokumen, yang berujung pada berbagai bentuk eksploitasi fisik, tenaga kerja, dan ekonomi,” sambungnya.
Sepanjang 2010-2024, SBMI menerima dan menangani 943 aduan dari AKP migran. Pada 2024 saja, terdapat 196 kasus yang dilaporkan dengan permasalahan utama meliputi dugaan kerja paksa dan perdagangan orang berupa gaji ditahan/tidak dibayar, jeratan utang, kekerasan, pekerjaan yang tidak sesuai kontrak, pembatalan keberangkatan, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Menurut Hariyanto, eksploitasi yang dialami para AKP migran ini kerap berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Maka, kata dia, menjadi sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang diduga meraup keuntungan dari tindakan tidak manusiawi yang mengorbankan hak asasi AKP migran ini.
Pedagang tuna terkemuka
Secara global, industri makanan laut bernilai lebih dari USD 350 miliar. Perusahaan induk Bumble Bee Foods di AS, Bumble Bee Seafoods, yang dimiliki oleh salah satu pedagang tuna terkemuka dunia, perusahaan Taiwan Fong Chun Formosa (FCF), tercatat memiliki pendapatan tahunan sebesar USD 1 miliar.
Namun kendati pendapatan bernilai luar biasa tersebut, nelayan migran Indonesia di atas kapal penangkap ikan Taiwan dilaporkan dijanjikan gaji sebesar USD 400-600 per bulan, yang kerap dipotong besar-besaran bahkan tidak pernah mereka terima–berdasarkan laporan Greenpeace Asia Tenggara dan Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) tahun2024.
Dalam gugatan ini, Bumble Bee Foods diduga tahu atau semestinya mengetahui tentang kondisi yang dialami para nelayan migran, tetapi secara sadar mendapat keuntungan dari praktik kerja paksa serta perdagangan orang.
Jaringan kantor Greenpeace di beberapa negara telah lama memperingatkan soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di industri perikanan skala besar. Selain itu, laporan Greenpeace Asia Tenggara berkolaborasi dengan SBMI tersebut juga menyoroti dampak lingkungan yang luas akibat praktik industri ini.
“Maka dari itu, pelindungan terhadap ekosistem laut tidak bisa dipisahkan dengan pelindungan hak asasi terhadap para pekerja di sektor laut, dalam hal ini nelayan atau AKP migran,” Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, FildzaNabila Avianti.
Menurut Fildza, perlu ada perubahan sistem yang menyeluruh dan Indonesia punya peluang untuk menjadi pelopor dalam hal tersebut.
“Apabila Indonesia berkomitmen membenahi tata kelola perekrutan dan penempatan AKP migran serta meningkatkanpengawasan, implikasi yang kita harapkan adalah terwujudnya rantai pasok industri perikanan yang lebih transparan dan pelindungan laut yang lebih baik,” tegasnya.*