
Faris merasa baru kali ini dibekap ketakutan berlebih saat meliput perang. Ia yang terbiasa meliput konflik atau perang di Indonesia dan sejumlah negara lain, merasakan kekhawatiran berbeda di Jalur Gaza. Ia masih belum paham, kegelisahan macam apa yang merasuki rongga dadanya.
Tak sampai sepeminuman teh, mobil yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan hampir roboh di Jabaliya. Atap bangunan itu hanya diselimuti terpal tebal berwarna hitam. Tak ada daun jendela dan pintu yang menutupi bangunan ini. Hanya terdapat sebuah papan bertuliskan “UNRWA School” di salah satu dinding bagian depan, dihiasi lubang-lubang kecil bekas tembakan peluru.
Seorang perempuan muda tampak berdiri di depan kelas. Tubuh mungilnya terlihat jelas dari tempat Faris berdiri. Pintu dan jendela tanpa daun itu seolah mempertegas status bahwa isi bangunan ini hanyalah para bocah dan gurunya. Bukan sarang milisi Hamas yang merencanakan aksi militer.
Papan tulis hitam di belakang sang guru dipenuhi alfabet bertuliskan kata-kata Bahasa Inggris. Para murid yang terdiri dari bocah-bocah usia 7-10 tahun duduk bersila di atas hamparan karpet tipis yang lusuh dan berdebu. Mereka tetap antusias menikmati pengajaran yang disampaikan guru muda. Wajah-wajah tanpa dosa itu seolah merasakan atmosfer yang sama dengan mereka yang belajar normal, di ruang kelas lengkap dengan bangku dan meja tulis.
Faris mengeluarkan kamera dari ranselnya lantas melepaskan beberapa jepretan di seputar gedung sekolah yang tak layak dibilang bangunan. Tak lupa pula ia membidik ‘close u’p wajah-wajah siswa, dan juga wajah sang guru muda. Sesekali ia mengecek hasil jepretan di layar belakang kamera digitalnya. Wajah ‘close up’ ibu guru di layar membetot seluruh jaringan syaraf di otaknya untuk tetap menatap lebih intens. Ada perasaan aneh yang berdesir perlahan, merambat dari pusat otak ke bilik hatinya yang paling dalam.
“Min, nanti minta tolong kau bilang ke ibu guru itu, aku mau wawancara,” pinta Faris pada Amin setelah merasa cukup mendapatkan gambar yang ia butuhkan.
Amin mengangguk lalu berujar singkat, “Ya, nanti setelah ia selesai mengajar. Tak elok mengganggunya saat masih melaksanakan tugas.”
Faris tak keberatan. Ia lantas menghampiri sebuah batu setinggi lututnya dan duduk di atasnya, tak jauh dari tempat mobil terparkir. Pandangannya menerawang ke arah depan. Yang tampak hanya-puing-puing bangunan tanpa manusia. Jalanan begitu sunyi, udara begitu kering, namun perasaannya seolah dibekap damai yang menyejukkan.
Sebagian besar warga Jabaliya telah mengungsi ke tempat yang lebih aman—walau tak semua tempat di Gaza bisa dianggap aman. Hanya bangunan sekolah ini saja yang masih merekam denyut kehidupan manusia; murid dan gurunya.
*
“Apa yang kau butuhkan, dan apa yang bisa kubantu?” suara itu begitu syahdu menembus lorong pendengaran Faris, seolah melayang lembut hingga menempel di koklea telinganya. Faris menoleh ke belakang. Sang guru muda tampak menyunggingkan senyum. Hangat, bersahabat, namun tetap terasa berjarak. Senyum itu di mata Faris tak ubahnya riak kecil di danau tenang; sederhana namun sanggup mengguncang seluruh jiwanya.
Dari balik tubuh gadis itu, Faris sekelebat melihat sosok Amin keluar dari ruang kelas. Bocah-bocah Gaza nan mungil namun menyejukkan pandangan matanya itu mengekor langkah Amin. Mereka pun tercerai-berai, berlarian meninggalkan sekolah. Amin berhasil melobi guru sekolah agar berkenan diwawancarai Faris. Entah jurus apa yang dipakai manusia ajaib satu itu hingga berhasil meyakinkan sang guru.
Faris kembali memusatkan pandangan pada sosok di depannya. Seorang gadis yang masih muda belia, baru memasuki awal dua puluhan tahun. Wajahnya berbentuk oval dengan dagu agak lancip. Ada lesung pipit menghiasi pipinya yang putih kemerahan. Hidungnya kecil namun mancung, seakan garis lembut yang digurat Tuhan dengan penuh kasih saat menciptakannya. Di balik tatapan matanya yang menyimpan duka, paras itu justru semakin memesona. Kecantikan yang lahir bukan dari kemewahan, melainkan dari keberanian untuk tetap tersenyum meski dunia di sekitarnya runtuh.
Dan yang paling membetot kekaguman Faris adalah kedua bola mata gadis itu. Mata yang berwarna cokelat gelap, tenang seperti telaga di pegunungan yang menyimpan kedalaman tak terukur. Ada kejernihan di dalamnya, seakan siapa pun yang menatap bisa melihat pantulan langit. Namun di balik ketenangan itu, sesekali riak kecil mengemuka—riak duka yang tak mampu sepenuhnya ia sembunyikan. Sebagaimana telaga yang diam-diam menyimpan arus di dasarnya.
Keindahan matanya bukan sekadar pesona, melainkan kesaksian: bahwa di balik perang dan kehilangan, masih ada jiwa yang setia menjaga kelembutan. Dalam tenangnya mata itu, Faris seolah mendengar jerit tertahan. Setiap kilau yang ia tampakkan adalah tetes air yang tertahan, air yang merembes dari tanah yang tak kunjung bebas. Faris menatap mata yang tenang itu agak lama dari yang seharusnya.
Tatapan Faris yang tak kunjung beranjak itu seolah memaku keresahan di hati si gadis. Hingga setiap detik terasa asing dan menyesakkan. Ia menggigit bibir, jemarinya gelisah memainkan ujung kerudung. Hatinya berdebar, bukan hanya karena malu, melainkan karena kesal yang perlahan tumbuh.
Akhirnya ia mendongak, menatap balik Faris dengan sorot yang tajam, suaranya bergetar di antara gugup dan amarah, “Cukup. Jangan menatapku seolah aku bukan manusia. Pandanganmu membuatku sulit bernapas.”
“Maafkan aku… Namaku Faris Nugraha, seorang jurnalis dari Indonesia. Kedatanganku ke sekolah ini untuk meliput sekaligus wawancara denganmu. Itu pun jika kau tak keberatan,” balas Faris dengan suara bergetar yang terlalu kentara dalam pindai mata dan telinga si gadis.
“Tentang apa, ya?”
“Aku sudah menulis terlalu banyak tentang bom, angka kematian, dan reruntuhan. Tapi aku ingin menulis tentangmu, tentang bagaimana kau bertahan di sini, mengajar anak-anak di tengah perang.”
“Kau Muslim?” tiba-tiba gadis itu menyodorkan tanya.
Sekilas Faris tertegun. Tak menyangka ada pertanyaan macam begini. Apa pula maksudnya. Ia membatin, dari nama Faris saja sudah menunjukkan status kemuslimannya.
Tiba-tiba dentum bom di kejauhan menggetarkan udara, menebas aliran kekaguman Faris pada gadis di depannya. Getar tanah yang mereka pijak sangat terasa, menandakan lokasi jatuhnya bom tak seberapa jauh dari sekolah ini. Serentak pandangan mereka berdua beralih ke kejauhan. Asap hitam membubung di langit sana, menciptakan gambar cendawan yang belum sempurna terbentuk.

Ballig salam haar li ahli gazza
Insya Allah.