
Kawasan Jabaliya ini memang tak jauh dengan kawasan perbatasan Israel-Palestina. Tak heran jika kehancuran di wilayah ini adalah kehancuran terparah yang diderita Gaza, seperti kawasan Khan Younis di selatan. Sejumlah warga Jabaliya yang ditemui Faris menuturkan kisah yang sama; ketidakseimbangan adu senjata antara Hamas dan serdadu Israel. Dan kini Jabaliya tak dapat dipertahankan Hamas, yang tersisa hanya warga sipil yang jadi bulan-bulanan kekejaman kaum Zionis.
Tak heran jika sebagian besar penduduk Jabaliya dekat perbatasan, meninggalkan rumah-rumah mereka. Bangunan-bangunan kosong yang tak lagi utuh bentuknya adalah pemandangan jamak di sini. Entah bagaimana kejadiannya, sekolah mungil dengan satu ruang kelas ini yang tersisa sebagai penentang rudal atau bom Israel paling gigih.
“Lebih baik kita bicara di dalam,” kata si gadis lalu melangkah kembali ke dalam kelas.
Faris mengikuti di belakang. Sebelum masuk ruangan, Faris memanggil Amin yang tengah duduk memainkan telepon genggam di kap depan mobilnya. Lelaki ceking itu bergegas menghampiri Faris, dan bersama-sama memasuki kelas.
“Aku siap menjawab pertanyaanmu. Silakan!” ujar si gadis. Mereka bertiga duduk di atas karpet berdebu yang tadi menjadi alas belajar para siswa. Faris duduk di dekat Amin, sang gadis di depan mereka, bersandar pada dinding sekolah yang retak di sana-sini.
“Siapakah namamu dan bagaimana ceritanya kau bisa mengajar di sini?” adalah pembuka wawancara Faris.
“Namaku Rania Khaled. Anak bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakakku lelaki semua. Aku sendirian yang perempuan. Namun, mereka semua telah syahid di medan perang. Kini yang tersisa di rumah hanya aku bersama Abi dan Umi. Setahun lalu aku lulus dari Universitas al-Azhar Gaza. Aku mengambil jurusan Bahasa Inggris di Fakultas Sastra dan meraih nilai yang lumayan bagus, dapat predikat summa cum laude,” kata-kata Rania mengalir lancar dan tenang bak riak kecil air anak sungai yang melintasi kaki gunung. Kelembutan suara yang keluar dari bibir itu dan diakhiri sesungging senyum, nyaris membekukan lidah Faris untuk melanjutkan pertanyaan berikutnya.
Tanpa memberi kesempatan Faris untuk bertanya lebih lanjut, Rania melanjutkan jawabannya. “Sebenarnya aku bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri. Aku bermimpi bisa melanjutkan S2 di Universitas Oxford, Inggris. Apa daya, takdir berkata lain. Agresi militer Israel ini memberangus impianku,” Rania menunduk, melepaskan pandangannya dari wajah Faris ke tumpukan buku yang tergeletak di depannya. Sorot mata yang tenang itu berubah sayu, seolah senja yang akan tertutup malam.
“Dan akhirnya kau mengajar di sini?”
“Secara langsung tidak. Aku sempat membantu pamanku berjualan roti di tokonya selama beberapa bulan setelah wisuda. Kebetulan rumah pamanku, adiknya Abi, bersebelahan dengan rumah kami. Dan karena paman dan bibi tidak dikaruniai keturunan, maka aku kerap membantu mereka,” Rania sejenak menghentikan kalimatnya, mengusap wajahnya dengan sapu tangan berwarna hijau muda.
“Setelah itu, aku mendengar kabar bahwa UNRWA membutuhkan seorang Bahasa Inggris untuk mengajar anak-anak. Aku pun melamar dan diterima tanpa banyak persyaratan. Dan seperti kau lihat, di sinilah aku sekarang,” kali ini wajah itu tak lagi sayu.
“Apa kau memang suka mengajar?” tanya Faris.
“Iya. Aku sangat suka mengajar. Bahkan di rumah pun aku juga mengajar anak-anak mengaji tiap habis Maghrib hingga Isya,” jawab Rania.
“Kau tak takut suatu saat bom Israel akan mampir ke sekolah ini?”
Rania membalas dengan senyum terkulum di bibirnya yang tipis. Seolah menertawakan pertanyaan yang diajukan Faris. “Tadi kau mengaku Muslim, kan?” ia balas bertanya.
“Iya. Lantas apa hubungannya dengan pertanyaanku,” setengah protes Faris menimpali.
“Jika kau benar-benar seorang Muslim, maka kau tak akan mengajukan pertanyaan yang menurutku agak konyol itu. Hidup mati seseorang itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Sudah tercatat dalam catatan yang dijaga Tuhan. Hidup mati manusia itu di tangan Allah. Kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana kita akan mati. Sebagaimana kita tak pernah tahu pula di Bumi Tuhan yang mana kita dilahirkan,” sorot mata Rania begitu menenangkan saat bibirnya tertata rapi mengucap tiap untaian kata.
Faris tercekat. Jawaban itu jauh melampaui ambang batas imajinasinya akan figur seorang guru yang masih muda belia. Ia merasa sosok di depannya telah membuka pikirannya yang selama ini tertutup letihnya pencarian. Sebuah pencarian tentang ketenangan jiwa yang seolah tiada berakhir. Dan di sini, di Gaza, di kota yang luluh-lantak akibat kejamnya perang, Faris merasa kelananya telah mencapai tujuan. Jauhnya jarak yang telah ia tempuh selama ini, telah terpangkas dan terjejak di garis batas. Di sebuah bangunan sekolah hampir roboh di Jabaliya.
Wawancara itu mengalir hingga menjelang Ashar, seakan waktu sendiri enggan beranjak. Setiap pertanyaan yang diajukan Faris dijawab Rania dengan tenang, padat, namun sarat renungan filosofis—seolah dari bibirnya mengalir hikmah yang lahir dari luka dan pergulatan hidup.
Sesekali Faris tertegun. Ia merasa bukan sedang mewawancarai seorang gadis, melainkan mendengar bisikan sebuah negeri yang hancur namun masih berdenyut. Dari sorot mata Rania, ia melihat kesedihan yang tak sempat diucap kata. Dari senyum kecilnya yang terkulum, ia menangkap ketabahan yang tak sanggup dirajam perang. Dan di dalam ruang itu, waktu seolah berhenti—seakan tak hanya mereka berdua yang berbincang, melainkan juga dua jiwa yang saling membuka rahasia, melampaui sekadar tanya dan jawab.
Di balik senyum terkulum yang sesekali singgah di wajah Rania, Faris menangkap sesuatu yang lebih dalam: getar ketabahan yang rapuh, yang diam-diam mengisyaratkan perpisahan. Kata-kata Rania mengalir seperti wasiat, seperti nyala kecil yang ia titipkan pada seorang asing yang kini menjadi saksi hidupnya. Dan di antara dentuman bom yang sayup terdengar di kejauhan, Faris merasa ngeri oleh kemungkinan—bahwa senja ini bisa saja menjadi percakapan terakhir mereka.
“Bolehkah, aku mampir ke rumahmu?” adalah pertanyaan pamungkas Faris yang diajukan pada Rania. “Aku masih punya waktu tiga hari meliput di sini. Setelah itu, aku harus keluar Gaza jika tak ingin mendekam di penjara Mesir.”
Gadis itu mengerjap, menoleh tajam, namun suaranya menyatakan persetujuan, “Silakan saja.”
“Di mana alamat rumahmu?” tanya Faris.
Rania tak menjawab. Ia hanya meraih tumpukan buku di depannya, mengambil buku tulis di bagian terbawah, dan menuliskan sesuatu di dalamnya. Rania merobek kertas yang tertulis tinta lalu menyerahkannya pada Faris.
Deru mesin mobil yang mendekat terdengar di halaman sekolah. Serentak Amin dan Faris mendongakkan kepala mereka ke arah jendela. Sebuah mobil tua berhenti hanya beberapa meter dekat mobil Amin. Suara klakson tiba-tiba menyalak dari kendaraan roda empat yang sama bututnya dengan punya Amin. Kedua lelaki itu disergap cemas.
Tiba-tiba Rania tertawa, “Jangan khawatir, itu mobil Abi-ku yang memang selalu menjemputku pada jam segini, bukan tank Merkava Israel!”
Senyum kecut tercetak di wajah Faris dan Amin.

Ballig salam haar li ahli gazza
Insya Allah.