
Dalam tiga hari berikutnya, Faris beberapa kali singgah ke rumah Rania nan sederhana. Walau terletak di jalan protokol Gaza City, bangunan rumah itu hanya terdiri dari dua lantai. Di sebelah kiri pintu masuk rumah Rania, terdapat toko roti bertuliskan “Roti al-Khaled” dalam Bahasa Arab yang tampak buram.
Rania dan ayahnya menyambut Faris dengan ramah. Tatapan malu-malu yang tergurat di wajah Rania melumerkan kekhawatiran Faris. Ibrahim adalah seorang pria paruh baya berwajah teduh, namun memancarkan wibawa demikian kuat. Rambutnya yang lebat terbagi menjadi dua warna: hitam dan putih. Demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang lebat.
Faris merasa nyaman menerima hangat dan ramahnya sambutan tuan rumah. Dan sejak itu pula ia merasakan kedekatan yang aneh dengan ayah Rania. Sebagai bocah yang telah yatim sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Faris seolah menemukan kembali sosok ayah yang telah lama hilang pada lelaki bernama lengkap Ibrahim Khaled itu. Sedang pada Rania, Faris melihat lebih dari sekadar wajah: ia merasa menemukan jiwa yang sanggup menemaninya melewati gelombang hidup hingga perhentian terakhir.
Suatu pagi, di hari terakhir keberadaannya di Kota Gaza, Faris berpamitan pada keluarga Khaled. Di ruang tamu yang berbau teh mint, perbincangan itu akhirnya mengarah pada sesuatu yang lebih serius. Faris sangat menyukai teh mint yang disajikan Rania. Ada sensasi rasa yang hanya diindera lidahnya namun tak terdefinisikan kata dalam tiap sesapnya.
Hanya ada Rania dan Ibrahim di ruang tamu kali ini. Maryam Khaled, ibunda Rania, tengah sibuk di dapur. Menyiapkan suguhan istimewa untuk melepas kepergian Faris.
“Faris, aku melihat caramu menatap putriku. Dan aku juga melihat caranya menundukkan wajah setiap kali kau ada di sini. Aku seorang ayah, aku tahu hatinya telah memberi ruang untukmu,” kata-kata Ibrahim mengalir datar.
Faris tercekat, lalu menunduk penuh hormat. “Aku tak menutup mata akan hal itu, Abi,” balasnya. Ibrahim memang telah meminta Faris memanggilnya Abi, sebagaimana Rania memanggil ayahnya dengan sebutan itu. “Rania bagiku bukan sekadar sosok yang tegar di tengah perang, tapi juga cahaya yang menuntun langkahku. Jika Allah meridai, aku ingin meminangnya.”
Senyum Ibrahim tampak samar, seperti menahan berat di kelopak matanya. “Aku tidak keberatan, bahkan aku akan meridai bila kau melamar Rania. Tapi ada satu hal yang harus kau pahami. Ia lahir di tanah ini, tanah yang berdarah namun penuh doa. Aku tidak ingin dia meninggalkan Gaza. Jika kau menikahinya, maka kau harus menikahi Gaza sekaligus. Tinggallah di sini bersamanya!”
Hening menyelusup, hanya dentum jauh di luar sana yang mengisi jeda kata-kata. Faris memejamkan mata sejenak, menyerap beban kalimat itu. Hatinya bergemuruh—Indonesia adalah rumahnya, tapi Gaza adalah tempat Rania bernapas, berjuang, dan berakar.
Dalam hatinya, Faris mendengar bisikan lirih, “Tinggal di Gaza berarti hidup dalam bayang perang, dalam keterbatasan, dan dalam ketidakpastian. Tapi bersama Rania, di Gaza kau bisa menyempurnakan perjalanan, menghentikan pencarian, menikmati ketenangan.”
Bisikan itu tertimpa bisikan lain yang kontra dan menyuarakan pedihnya hidup di Bumi yang tiada henti diamuk perang hingga akhir dunia.
Ibrahim berdiri menghampiri Faris dan menepuk bahu lelaki yang datang dari negeri nun jauh itu. Ibrahim seolah merasakan pergolakan batin yang dirasai Faris. Namun dengan tegas ia kembali mengucap kata. “Kalau kau benar-benar mencintainya, maka cintailah pula tanah yang melahirkannya. Jangan pernah memisahkan seorang anak dari ibunya… dan Gaza adalah ibunya.”
Faris menunduk, pasrah. Dan dalam diam itu, ia sadar: pilihan ini bukan hanya tentang cinta pada seorang gadis, melainkan juga tentang kesetiaan pada sebuah tanah yang dikepung luka.
Ibrahim beranjak meninggalkan Faris dan Rania, menyusul istrinya ke dapur. Dua anak manusia yang tertinggal di ruang tamu dibekap sunyi. Tak satu pun yang bicara. Faris hanya menatap cangkir teh yang telah kosong. Sementara pandangan Rania terpaku pada karpet tebal namun kusam yang menutupi lantai rumahnya. Kedua tangannya saling mencengkeram.
Setelah dikepung kebisuan selama sekian lama, Faris akhirnya berkata pada Rania. “Ayahmu ingin aku tinggal di Gaza, Rania. Hati kecilku sebenarnya menginginkan hal yang sama. Tapi untuk saat ini aku belum siap. Masih ada tugas yang harus kutunaikan Aku harus kembali ke Indonesia. Ada berita yang harus kusampaikan, ada kisah yang harus kutulis. Tapi aku berjanji padamu, bahwa suatu saat nanti—entah berapa pun lamanya—aku pasti akan kembali menemuimu.”
Rania terdiam, wajahnya tampak muram. Tangannya meremas ujung jilbab di pangkuannya. “Aku tahu, kau masih dibelenggu tugas dan kewajiban di negerimu. Aku pun tak bisa memintamu meninggalkannya. Gaza adalah takdirku, Faris. Aku tak bisa meninggalkan tanah ini. Pasir Gaza ini bukan sekadar tanah. Ia menyimpan jejak langkah, darah, dan doa yang tak pernah berhenti.”
“Jika Allah meridai, kita akan dipertemukan lagi. Aku akan kembali, Rania. Entah kapan, tapi aku akan kembali,” Faris kembali mempertegas janjinya.
Air mata Rania jatuh, tapi ia tersenyum getir. ”Mungkin ketika kau kembali, Faris… hanya nama yang kau temukan. Kita tak pernah pernah tahu bagaimana skenario akhir perjalanan hidup kita. Tapi jika pun begitu, ingatlah, aku pernah ada. Dan namamu selalu menjadi doa yang tak pernah selesai di bibirku.”
*
Di Jakarta, Faris kembali tenggelam dalam ritme yang melelahkan, di antara deru telepon dan detak keyboard komputer. ‘Koran Resonansi’ tempatnya berkarya, termasuk lima media cetak terbesar di Indonesia. Jadi rujukan bagi pejabat, pengusaha, maupun khalayak umum yang mencari informasi bernas dan bermutu. Faris merasa bangga menjadi bagian dari denyut nadi itu.
Meja kerjanya berada di pojok, di ujung paling sunyi lantai dua ruangan redaksi. Komputer berukuran sedang menempati sebagian besar kubikelnya, seolah menjadi jantung kecil yang memompa arus berita tanpa henti. Di sekelilingnya, tumpukan draf laporan berjejer rapi—statistik korban, kronologi serangan, testimoni warga; lengkap dan faktual.
Hari demi hari, perhatian Faris tenggelam pada satu tema yang tak kunjung pergi dari pikirannya: Gaza. Setiap detik di meja itu diisi oleh catatan, laporan, dan bayangan tanah yang jauh. Sebuah kota yang dentuman dan rindunya menempel dalam setiap kata yang ia tulis.
Beragam bentuk karya jurnalistik lahir dari tangannya: mulai investigative reporting, in-depth news, hingga feature yang memukau pembaca. Kerja keras dan keberaniannya meliput ganasnya perang di Gaza membuahkan hasil nan manis. Dua liputan Faris tentang tanah yang terkoyak itu diganjar ‘Anugerah Jurnalistik Adinegoro’, penghargaan tertinggi di Indonesia bagi insan pers.
Salah satu liputannya, yang menyoroti keberanian bocah-bocah di Bait Hanoun, Gaza Utara—yang menentang kebengisan tentara Israel—meraih penghargaan dalam kategori In-Depth News. Sementara liputannya yang lain, tentang seorang guru muda bernama Rania Khaled, yang tetap setia mengajar di tengah kecamuk perang, mendapat pengakuan dalam kategori News Feature. Bagi Faris, penghargaan itu bukan sekadar prestise, melainkan pengakuan atas keberanian, kesabaran, dan nilai kemanusiaan.

Ballig salam haar li ahli gazza
Insya Allah.