411 views 61 mins 2 comments

Novelet: Segenggam Pasir dari Gaza

In Leisure, Seloka
August 30, 2025

Sebagai satu-satunya wartawan Indonesia yang pertama kali berhasil menembus Jalur Gaza, Faris bukan hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga pengukirnya. Dalam bayang-bayang reruntuhan dan dentuman senjata, ia mengabadikan wajah-wajah manusia yang masih bertahan dengan harapan. Tak sekadar menulis berita, ia menulis tentang jiwa yang terampas.

Pengalamannya yang langka dan penuh risiko itu menjadikannya sosok yang kerap diundang ke berbagai perguruan tinggi. Di sana, ia tak hanya membagikan teknik-teknik liputan jurnalistik, tetapi juga menyulut semangat keberanian, integritas, dan empati di kalangan mahasiswa.

“Meliput di wilayah konflik bukan sekadar mengejar eksklusivitas berita,” ucapnya dalam satu sesi pelatihan. “Tapi tentang menyuarakan yang tak bersuara, menyentuh sisi kemanusiaan yang sering tertimbun di balik statistik dan propaganda.”

Di balik kamera dan pena, Faris menyimpan kisah-kisah kecil yang tak pernah sampai ke layar kaca. Seorang bocah lelaki yang menggambar rumah dengan atap yang utuh. Seorang ibu yang menjahit abaya kumal di malam hari meski listrik padam. Juga tentang seorang guru muda bernama Rania Khaled, yang menikam kalbunya dengan kehampaan dan harapan.

***

Gaza menyambut Faris dengan kesunyian yang bising. Bising yang tidak berasal dari keramaian kota, melainkan dari langit yang terus meraung. Pesawat-pesawat tempur yang melintas rendah, diikuti dentuman bom yang menggetarkan dada. Jalan Salahuddin al-Ayyubi, nadi utama Gaza yang dulu tak pernah benar-benar sepi meski perang terus berkecamuk, kini kosong melompong. Sunyi, mencekam, tak ubahnya jalan menuju pekuburan. Satu-satunya yang bergerak di jalan itu hanyalah taksi tua yang ia tumpangi dari Rafah.

Enam tahun silam, ia masih berhubungan dengan Amin. Mereka terakhir saling mengirim kabar lewat pesan singkat di Messenger Facebook. WhatsApp tak pernah jadi pilihan, karena sebagian besar warga Gaza bahkan tak punya kemewahan menggenggam ponsel pintar. Internet adalah barang mewah; hanya bisa diakses di warnet-warnet yang buka secara terbatas. Itu pun bergantung pada pasokan listrik yang sering terputus dan sinyal yang tak menentu. 

Dengan Rania, keadaan lebih pilu. Setahun terakhir tak ada kabar apa pun dari gadis itu. Beranda Facebook-nya berhenti menampilkan aktivitas. Pesan terakhir darinya masih terpatri jelas dalam ingatan: “Kami semua berharap bisa segera keluar dari perang genosida ini, Faris.” Setelah itu, hening panjang menelan segalanya.

Kini, saat kendaraan lapuk membawa tubuhnya melintasi Gaza, Faris sadar bahwa kalimat itu mungkin adalah pesan selamat tinggal.

Senja di Gaza tak memberi ruang transisi. Terang tiba-tiba runtuh dilipat gelap. Rumah-rumah berdiri bagai cangkang mati tanpa penerangan. Sesekali cahaya muram muncul dari generator yang meraung di sudut kamp pengungsian. Bau asap terbawa angin, bercampur aroma roti gosong dari tungku darurat di antara reruntuhan. Gaza pada sore ini lebih mirip set panggung film Hollywood bertema horor—gelap, dingin, dan hampa.

Sopir taksi, Rasyid, seorang pria berwajah keras dengan mata yang seakan tak pernah tidur, membawanya menuju Kamp Nuseirat di wilayah Deir Balah. Pusat Kota Gaza, yang masih berjarak sekitar 15 kilometer, terlalu berbahaya untuk ditempuh. Ia memang sudah merencanakan bermalam di kamp pengungsi itu. Tidak seperti dulu ketika bersama Amin yang ia kontrak sebulan lamanya, kali ini ia hanya butuh sekali antar. Sisanya, Faris akan meliput bersama kawannya, seorang jurnalis yang sudah dua tahun terakhir bertahan di Gaza.

Nuseirat akan menjadi rumahnya untuk sementara. Tenda lusuh, udara dingin, dan deru generator akan menggantikan kenyamanan hotel atau apartemen yang sudah lama lenyap dihantam rudal. Tahun 2024 membawa Gaza pada titik paling rapuh sepanjang sejarah. Operasi militer Israel bersandi Iron Sword telah menghancurkan hampir seluruh bangunan di jalur pantai itu. Lebih dari 90 persen penduduk kini hidup sebagai pengungsi. Faris tahu, tak ada pilihan lain selain ikut bertahan di dalam tenda. Baginya, ini bukan sesuatu yang baru. Seorang jurnalis perang harus kebal terhadap segala bentuk kesederhanaan.

Taksi berhenti di depan tenda berukuran sedang, tidak jauh dari pintu masuk kamp. Sebuah bohlam kecil tergantung di pintu, bergoyang tersentuh angin malam, menebarkan cahaya muram. Tenda relawan, petugas medis dan jurnalis dipisahkan dari tenda-tenda pengungsi yang menjorok lebih dalam.

Pintu tenda itu mendadak terbuka. Seorang pria berwajah bule keluar, langkahnya mantap, matanya berbinar meski raut wajahnya diselimuti letih. “You made it, Faris (sampai juga kau di sini),” sapanya, seolah-olah raungan mesin taksi tadi adalah sinyal yang sudah lama ia nantikan.

“Alhamdulillah, Bro. Finally we meet again after such a long time (ketemu juga kita setelah sekian lama),” jawab Faris. Suaranya bergetar, antara haru dan lega.

Pria itu adalah Alexander Santos, jurnalis perang asal Spanyol, seorang legenda hidup yang puluhan tahun malang melintang di berbagai medan konflik. Bagi jurnalis perang generasi muda, Alex adalah guru yang dihormati. Sosok yang selalu disebut dalam cerita liputan—tokoh yang seolah abadi di setiap tragedi perang dunia. Kini, di tengah reruntuhan Gaza, Faris kembali bertemu dengannya—sebuah perjumpaan yang bagai cahaya redup dalam kegelapan yang pekat.

Faris mengikuti langkah Alex masuk ke dalam tenda. Ruangan itu tak luas, hanya cukup untuk beberapa ranjang lipat yang ditata rapat-rapat. Meja kayu sederhana, dan tumpukan ransel lusuh menghiasi dinding terpal. Bau lembap tercampur aroma kopi instan yang baru diseduh, menusuk hidung Faris. Di pojok, sebuah laptop tua menyala, layarnya redup ditenagai generator yang menderu pelan.

Di dalam, tiga orang tampak sibuk dengan dunia masing-masing. Seorang perempuan berambut pirang dengan pakaian serba putih sedang menulis catatan medis sambil sesekali menghela napas panjang. Seorang relawan muda dengan tampang khas Balkan berusaha menyalakan sambungan internet satelit portabel, wajahnya frustrasi setiap kali sinyal hilang. Dan seorang pria berambut gimbal berwajah gelap tengah membersihkan lensa kameranya dengan kain seadanya.

Alex menepuk bahu Faris, memperkenalkan dengan nada hangat tapi terburu-buru. “Ini, teman lama saya dari Indonesia. Jurnalis perang juga. Percayalah, dia tahan banting.”

Dokter perempuan itu menoleh, memberi senyum singkat. “Selamat datang. Semoga kau cepat terbiasa dengan gelap dan bisingnya tempat ini.”

Faris membalas dengan anggukan. “Terima kasih, Dok. Saya pikir, kalau bisa terbiasa dengan bau mesiu, saya juga bisa terbiasa dengan tempat ini.”

Percakapan ringan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, suara ledakan kembali terdengar. Tanah bergetar halus, lampu bohlam bergoyang liar, lalu padam sejenak sebelum menyala kembali. Semua orang berhenti bicara. Hanya terdengar deru generator yang memaksa tetap hidup.

“Dekat sekali,” gumam pria berambut gimbal, matanya menatap keluar tenda.

Alex menghela napas. “Ya, hanya beberapa kilometer dari sini. Besok kita akan lihat lagi puing-puing baru.”

Faris menarik kursi lipat dan duduk. Hatinya berdenyut keras. Di luar tenda, suara anak-anak menangis samar, bercampur doa lirih dari para ibu yang menunggu giliran bantuan makanan. Malam Gaza terasa panjang, lebih panjang dari jam yang dicatat di arloji.

Namun di tengah kegelapan itu, ia merasakan sesuatu yang ganjil: semacam persaudaraan yang terbentuk dari luka kolektif. Tenda kecil ini adalah dunia baru yang akan menjadi rumahnya untuk beberapa waktu. Di sinilah ia harus menulis, melaporkan, dan—lebih dari itu—bertahan.

2 comments on “Novelet: Segenggam Pasir dari Gaza
Tulis Komentar