412 views 61 mins 2 comments

Novelet: Segenggam Pasir dari Gaza

In Leisure, Seloka
August 30, 2025

Alex menyalakan rokok putih, lalu menatap Faris dengan tatapan yang penuh arti. “Kau tahu, Faris,” katanya pelan, “perang selalu punya cara membuat kita merasa kecil. Tapi jangan pernah biarkan perang membuatmu kehilangan kata-kata. Karena kata-kata, pada akhirnya, lebih abadi daripada bom.”

Faris mengangguk, menelan kalimat itu dalam-dalam. Ia tahu, malam ini hanyalah awal dari kisah panjang yang akan menuntunnya pada jejak sahabat-sahabat lama, pada wajah-wajah baru, dan pada kenyataan getir yang disebut Gaza.

“Lex, sebelum terjebak rutinitas liputan yang bakal berkepanjangan, tolong besok antar aku ke pusat kota ya,” ujar Faris lirih.

“Ada apa di sana?” balas Alex dengan raut wajah penasaran.

“Aku harus memulai tugas kedua ini dari sana. Ada hal yang harus kutuntaskan,” kini suara Faris lebih mirip desah.

“Baiklah, kebetulan ada mobil relawan yang bisa kita kendarai. Mobil ‘double cabin’ yang lumayan dapat diandalkan,” sahut Alex. 

*

Pagi berikutnya, setelah malam panjang penuh dentuman rudal dan deru generator, Faris dan Alex berangkat ke Gaza City, mencari jejak Rania. Ia masih belum bercerita pada Alex tentang apa yang ia rencanakan sebenarnya. Alex, menurut kata hatinya, belum perlu tahu tentang dendam rindu yang ia pendam pada sosok yang entah bagaimana nasibnya.

Perjalanan ke Gaza City penuh kehancuran. Jalanan retak, bangunan menjulang tinggal rangka beton, bau mesiu dan debu menempel di udara. Sesekali mereka melewati iring-iringan warga yang membawa gerobak berisi sisa perabot rumah, wajah mereka pucat, mata kosong. Gaza tampak seperti tubuh raksasa yang dikerat berkali-kali, hingga tak bersisa selain luka.

Mobil berhenti di depan reruntuhan bangunan, di seberang jalan yang lengang. Papan nama toko roti yang separuh gosong masih tergantung miring, huruf-huruf Arabnya nyaris tak terbaca. Kondisi bangunan sebelah toko roti, di mana Rania dan keluarganya tinggal, lebih parah lagi. Sisa-sisa perabotan di ruang tamu hancur lebur tertindih puing-puing beton. Di depan reruntuhan, hanya ada tumpukan sisa kursi dan meja kayu yang bentuknya tak karuan. 

Faris mendekat dan berdiri lama di depan reruntuhan. Membayangkan suara Rania yang menyambutnya di depan pintu, menuangkan teh mint, berkisah tentang Gaza yang luka namun tak ingin ia tinggalkan. Semua itu telah runtuh, terkubur bersama debu dan suara yang lenyap. Air matanya menetes perlahan, jiwanya serasa dihantam palu godam dengan berat puluhan ton. Faris membeku. 

Alex yang telah berdiri di sampingnya ikut pula membeku. Menatap wajah Faris, berpindah ke reruntuhan, kembali ke wajah Faris, dan balik ke reruntuhan, berulang-berulang. Ia masih tak mengerti dengan perilaku Faris. “Ini rumah siapa sebenarnya?” rasa penasaran Alex akhirnya terlampiaskan lewat tanya.

Faris tak lantas merespons. Pandangannya kini terpaku pada tanah dan pasir yang ia jejak. Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya ia membuka suara, “Hanya rumah seorang teman.” Singkat dan padat.

Alex juga sepertinya enggan menggali lebih jauh. Naluri kewartawanannya yang harus menuntaskan tiap rasa penasaran seolah terhalang tembok penghalang. Ia tak berkutik.

“Ayo kita ke Jabaliya,” tiba-tiba Faris berkata dengan nada agak tinggi. 

“Ada apa lagi di sana?” Alex sepertinya mulai kehilangan kesabaran.

“Nanti juga kau bakal tahu,” sahut Faris.

“Yang di sini saja belum kau jelaskan, rumah siapa dan kenapa kita ke sini? Kini mendadak kau mau Jabaliya,” sungut Alex.

Faris tak peduli. Ia bergegas melangkahkan kami menuju mobil yang terparkir di seberang. Seorang lelaki tua bersorban putih kumal berjalan ke arah mereka. Ia menarik sebuah gerobak berisi barang rongsokan dengan langkah tertatih.

Tak jadi membuka pintu mobil, Faris meninggalkan Alex, menghampiri si lelaki tua dan mengajukan tanya dengan sopan, “Abuya (paman), apakah paman tahu apa yang terjadi dengan rumah dan toko roti itu?” 

Si lelaki tua menatap wajah Faris penuh keheranan. “Kau siapa orang muda? Dan apa yang kau lakukan di sini?” ia malah membalas dengan tanya ketimbang memberi jawaban.

Dalam hatinya, Faris sedikit jengkel, namun ia campakkan dengan mengembangkan senyum. “Aku seorang wartawan dari jauh, Paman. Dari sebuah negeri bernama Indonesia. Paman tahu di mana Indonesia? Pokoknya jauh dari sini. Nah, sekarang coba ceritakan apa yang terjadi dengan toko roti dan rumah itu?” telunjuk kanannya menuding ke arah samping.

“Oh, Indonesia. Aku tahu Indonesia. Soekarno, Soekarno…” celoteh lelaki itu dengan wajah berseri. “Dulu Soekarno dan Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir) pernah lewat di jalan ini. Kamu tahu Gamal? Ia adalah sahabat Soekarno. Mereka adalah orang-orang hebat. Aku ingat ketika masih belia dulu, aku ikut melambaikan bendera di sini, menyambut kedatangan mereka saat akan bertemu dengan Abu Ammar (julukan Yasser Arafat—pemimpin dan tokoh besar Palestina).”

Kejengkelan Faris hampir terlampiaskan dengan serapah. Lelaki tua berwajah keriput dengan gigi yang sebagian ompong ini benar-benar ‘ajaib’. Ditanya apa, dijawab apa pula. Tak kuasa menahan kekesalan, Faris kembali bertanya dengan nada makin lembut namun menambahkan volume. “Paman yang baik. Aku bertanya tentang bangunan itu, bukan tentang Soekarno dan Gamal. Jadi, tolong ceritakan apa yang terjadi di sana?” telunjuk Faris sekali lagi menuding ke reruntuhan rumah keluarga Khaled.

“Oh, itu rumah keluarga Khaled. Rumah itu kena rudal Israel setahun lalu,” akhirnya si lelaki tua menemukan ‘kewarasannya’. “Para penghuni rumah tak ada yang selamat. Kasihan keluarga Khaled. Mereka orang-orang baik. Dua Khaled bersaudara dan istri-istri mereka tak ada yang selamat.”

“Termasuk Rania?” potong Faris.

“Kau kenal Rania?”

“Iya,” gerutu Faris.

“Syukurlah, Rania tak ikut menjadi korban yang tewas di rumah itu. Saat itu, hanya empat orang mayat yang ditemukan di reruntuhan bangunan,” tutur si lelaki tua.

Desir aneh merambat di jantung Faris. Ada asa yang tersisa, walau setipis debu. “Lalu di mana Rania sekarang, Paman?”

“Soal itu aku kurang paham,” jawabnya. “Coba kau ke Jabaliya. Mungkin di sana kau akan menemukan jawaban.”

Tanpa berpanjang kata, Faris mengucapkan terima kasih dan menyalami si lelaki tua lantas bergegas menyusul Alex yang telah menunggu lama di dalam mobil. Jabaliya, pikir Alex, tentu saja sekolah UNRWA.

2 comments on “Novelet: Segenggam Pasir dari Gaza
Tulis Komentar