408 views 61 mins 2 comments

Novelet: Segenggam Pasir dari Gaza

In Leisure, Seloka
August 30, 2025

Nasib bangunan “UNRWA School” bernasib jauh lebih tragis dibanding rumah keluarga Khaled. Bangunan ini hampir rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah onggokan bekas dinding setinggi lutut, yang tak lagi membentuk ruang. Hanya hamparan pasir yang memenuhi bekas ruang kelas, di mana dulu Rania mengajar murid-muridnya. Papan nama sekolah raib entah kemana. 

Dalam bayangan Faris, dalam empat belas tahun perjalanan waktu, seharusnya sekolah ini telah menjelma menjadi gedung megah yang dilengkapi bangku dan meja tulis. Namun, kenyataan yang ia lihat seketika memberangus imajinasinya. Sekolah ini telah hancur lebur, lenyap dari catatan sejarah.

Faris tak kuasa lagi menahan air mata yang kini membanjiri wajahnya. Kata-kata seolah kehilangan makna. Tiada lagi yang bisa terucap dari bibirnya untuk mengungkapkan apa yang mendera batinnya. Faris membalikkan badan, menatap sayu ke arah Alex yang berdiri di belakangnya. 

Pria Hispanik itu membalas pandangan Faris dengan sejuta tanya yang mengendap di benaknya. Ia masih belum mengerti dengan sikap dan kelakuan Faris sepanjang hari ini. “Saudaraku, kini saatnya kau menceritakan apa yang sebenarnya kau cari?” ucapnya dengan raut wajah dilambari tuntutan.

“Baiklah, Lex,” jawab Faris. “Mari kita duduk di situ. Aku akan menuturkan semuanya padamu tanpa sisa.”

Mereka melangkah ke arah puing sisa tembok setinggi lutut, yang seolah menjadi saksi bisu dari sekolah yang pernah berdiri. Keduanya duduk berhadapan, saling menatap dengan wajah tegang.

Dengan suara tenang namun bergetar, Faris mulai berkisah tentang Rania Khaled. Ia mengucapkan nama itu seperti seorang pengelana yang menyebut oasis terakhir di padang tandus. Alex mendengarkan, matanya tajam namun hatinya ikut terhanyut. 

Faris membuka semuanya: tentang tatapan pertama yang menyalakan api, tentang mimpi yang hendak dirajut di tengah keterbatasan, tentang janji sederhana yang tertinggal di balik runtuhnya hari-hari. Cinta itu memang tak pernah terucap kata, tapi jauh lebih dalam, ia menyulut nyala abadi dalam jiwa. Nyala yang kini hanya tinggal bara di tengah reruntuhan.

Alex tertegun, dadanya sesak. Ia tak menyangka sahabat yang selama ini dikenalnya sebagai lelaki tabah ternyata menyimpan kisah yang begitu dahsyat, sekaligus getir. Di wajah Faris ia melihat bukan sekadar jurnalis, melainkan seorang perantau terluka yang mencari makam bagi hatinya.

Sejenak, angin berembus membawa aroma mesiu bercampur debu gurun pasir. Faris menunduk, jemarinya mengais serpih-serpih pasir seperti hendak menemukan jejak tangan Rania yang dulu pernah menggenggamnya. 

“Lex…” bisik Faris, “Aku tahu mungkin yang menantiku hanya gundukan tanah tak bernama. Tapi biarlah, meski Gaza hendak menelan segalanya, aku akan tetap mencarinya. Aku ingin sekali saja berdiri di hadapannya—entah pada tubuhnya, atau pada tanah yang memeluknya—dan berkata, Rania, aku datang menepati janji.”

Alex hanya bisa menatapnya, matanya berkaca. Kata-kata tercekat di kerongkongan. Yang tersisa hanyalah kesadaran pahit, bahwa cinta di tanah ini hampir selalu berakhir di liang lahat.

*

Perjalanan mereka dari Jabaliya menuju Nuseirat diliputi kepungan debu yang belum reda. Jalanan yang mereka lalui penuh lubang bekas ledakan, rumah dan bangunan tanpa atap, dan bau besi terbakar yang menyesakkan dada. Sesekali mereka harus berhenti, menunggu iring-iringan ambulans lewat dengan sirene meraung, membawa tubuh-tubuh yang tak lagi bernyawa.

Di sebuah kawasan padat penduduk, mereka mendapati kerumunan orang berkumpul di persimpangan jalan. Wajah-wajah penuh cemas, sebagian perempuan menangis sambil memeluk anak-anaknya, dan para lelaki berdiri dengan sorot mata yang putus asa. Lantunan doa dan rintihan bercampur menjadi satu, mengambang di udara seperti asap yang tak kunjung reda.

Faris memberanikan diri mendekati seorang pria paruh baya bertubuh kurus dengan janggut berantakan dan mata sembab. “Maaf, Abuya… apa yang terjadi di sini? Dan apakah Paman tahu tentang apa yang terjadi pada UNRWA School?” suara Faris parau, tertahan di tenggorokan.

Pria itu menatapnya lama, seolah menimbang, lalu menarik napas berat sebelum menjawab. “Sekolah itu sudah tidak ada lagi. Rudal Israel menghantamnya setahun yang lalu. Saat itu puluhan orang berlindung di dalam, sebagian besar anak-anak. Tidak ada yang selamat, tak seorang pun.”

Faris terdiam. Dadanya sesak, napasnya tersengal, namun ia masih harus mengumpulkan sisa keberanian untuk bertanya, “Apakah Paman tahu tentang seorang guru bernama Rania Khaled? Dia mengajar di sana.”

Pria itu menutup mata, kepalanya mengangguk perlahan, kemudian berkata lirih, “Ya, aku tahu Rania. Ia ada di sana bersama murid-muridnya. Mereka semua terkubur di bawah reruntuhan. Mayat-mayatnya kemudian diangkat dengan susah payah lalu dibawa ke Bait Lahiya, ke pemakaman di sana. Di situlah mereka beristirahat.”

Kata-kata itu jatuh bagaikan batu ke hati Faris. Ia merasa tanah di bawahnya bergetar, seolah menelan habis setiap harapannya. Wajah Rania yang selalu tersenyum kini berganti bayangan tubuh tak bernyawa, terbaring di antara murid-muridnya yang juga terenggut. “Lex, kita harus ke Bait Lahiya,” suara Faris nyaris tak terdengar.

Langkah mereka menuju Bait Lahiya bagai perjalanan menuju jurang sunyi. Jalanan sempit yang mereka lalui dipenuhi debu, puing, dan sisa asap kebakaran yang masih menggantung di udara. Semakin dekat ke pemakaman, semakin sunyi suara dunia, hanya desau angin membawa aroma tanah kering dan doa yang patah.

Komplek makam Bait Lahiya terbentang di hadapan mereka. Hamparan gundukan tanah baru, berderet-deret tanpa pola, ditandai papan kayu sederhana yang bertuliskan nama-nama penghuninya. Sejumlah warga terlihat duduk bersimpuh dan melantunkan doa di hadapan makam orang terkasih. Di bagian lain, suara isak tangis terdengar getir bak lenguh yang tertahan.

Tanpa ditemani Alex, Faris melangkah perlahan memasuki komplek pemakaman. Matanya menyapu setiap papan kayu dengan gelisah, namun tak jua menemukan kuburan Rania. Ia lantas mendekati seorang perempuan tua yang tampak berdoa sendirian di salah satu makam yang masih basah. Dengan ramah ia menanyakan pada si nenek perihal kuburan Rania. Nenek itu berdiri lalu menudingkan jari telunjuknya ke arah utara. 

Faris menyusuri deretan makam menuju tempat yang ditunjuk si nenek. Jantungnya bergetar melihat nama-nama asing di tiap nisan. Langkah kakinya terhenti di baris kedua dari deret paling utara area pemakaman. Dadanya membeku. Di hadapannya, berdiri tegak sebuah papan kayu sederhana bertuliskan: Rania Khaled.

Faris terperanjat. Lututnya seketika lemas, tubuhnya jatuh berlutut di atas pusara itu. Wajahnya mendekat, seakan ingin menembus tanah untuk mencari senyum yang dulu pernah menenangkannya. Air matanya tumpah, jatuh membasahi pasir yang kering.

“Rania…” suaranya pecah, bagai bisikan yang terempas angin. “Aku datang. Meski hanya menemukanmu dalam diam tanah ini. Aku datang menepati janji.”

Usai melantunkan ayat suci dan doa-doa terbaik untuk Rania, Faris meraup segenggam pasir dari pusara. Menggenggamnya erat, seakan ingin menyimpan sepotong bagian Rania. Pasir itu merembes perlahan di sela jarinya, lantas lenyap tersapu angin. 

Ia kemudian merogoh buku kecil dari saku kemejanya, merobek selembar kertas dari dalamnya. Dengan hati-hati ia kembali menjumput segenggam pasir dari pusara Rania, menaruhnya di atas sobekan itu, melipatnya perlahan seolah sedang mengikatkan doa. Lembaran kecil berisi pasir itu kemudian ia selipkan ke dalam sakunya.

Alex yang tiba-tiba muncul, telah berdiri di belakang Faris, hanya menundukkan kepala. Tak sanggup berkata apa-apa menyaksikan sahabatnya luluh lantak. Akhirnya, dengan terhuyung, Faris berdiri. Tanpa kata, ia meninggalkan area pemakaman, diikuti Alex. Jiwanya terasa hampa, seakan seluruh harapan ikut terkubur bersama Rania di Bait Lahiya. 

Di gerbang pemakaman, Faris berhenti sejenak, membalikkan badan dan menatap ke arah makam Rania untuk terakhir kali. Sayup-sayup ia mendengar bisikan, “Pasir Gaza ini bukan sekadar tanah. Ia menyimpan jejak langkah, darah, dan doa yang tak pernah berhenti.”

Chairul Akhmad, Jurnalis Pengayuh Pedal.

2 comments on “Novelet: Segenggam Pasir dari Gaza
Tulis Komentar