119 views 15 mins 0 comments

Nur: Benteng Rapuh Pekerja Migran yang Terjepit

In Global, Internasional
August 14, 2025

Nur dan Pengabdian yang Memengaruhi Hidup Banyak Orang
Di balik tekanan kerja dan hidup yang serba terbatas, Nur tidak hanya mengirimkan uang untuk pengobatan suaminya dan menopang keluarga. Dari trauma dan penderitaan yang ia lalui, ia menempa keberanian untuk berdiri bersama mereka yang senasib. 

Menjadi suara dan uluran tangan bagi kerapuhan hidup pekerja migran tak berdokumen, dan menjadikan dirinya —meskipun sama rapuhnya, sebagai penolong terdepan sesama pekerja migran tak berdokumen yang mengalami masalah melalui organisasi bernama IMWU di Belanda.

Di IMWU, Nur menemukan ruang untuk mengubah luka menjadi kekuatan. Ia mulai dari hal-hal sederhana—menemani kawan migran yang ketakutan saat menghadapi majikan, menerjemahkan surat resmi, atau sekadar mendengar curhat sesama pekerja. 

Baca juga:
Nelayan Migran Indonesia Gugat Raksasa Seafood AS

Ia ikut mengorganisir pertemuan, memperjuangkan hak-hak pekerja migran, hingga mendampingi korban pelecehan. Setiap cerita yang ia dengar mengingatkannya pada malam-malam ketika ia sendiri harus kabur dari majikan yang melecehkan. Bedanya, kini ia tidak lagi sendirian, dan memastikan orang lain pun tidak perlu sendirian.

Nur sehari-hari kerap menerima telepon aduan dari pekerja migran yang tertangkap razia dan mengalami masalah hukum. Ia mendampingi mereka, membantu mencarikan pengacara dan mendampingi pengacara selama proses pemberian akses keadilan bagi pekerja migran tak berdokumen. Perlahan, ia belajar bahwa kehadirannya bisa menjadi penopang orang lain, sebagaimana ia dulu mendambakan penopang itu ketika pertama kali tiba di Belanda.

Bagi Nur, menjadi aktivis bukan soal gelar atau posisi. Itu adalah cara untuk meraih kembali martabat yang pernah direbut darinya. Dan di tengah statusnya yang tetap tanpa dokumen, ia menjadikan keberadaannya sebagai bukti: bahkan mereka yang dipinggirkan bisa menjadi pusat kekuatan bagi komunitasnya.

Kebijakan Paspor yang Menjepit  
Pekerjaan Nur membela pekerja migran tak berdokumen kini semakin berat. Sejak terbitnya Permenkumham Nomor 19 pada Agustus 2024, WNI tanpa izin tinggal resmi tak lagi bisa memperpanjang paspor di KBRI atau KJRI. 

Sebelumnya, aturan lama tidak mensyaratkan perlunya kepemilikan izin tinggal yang sah dari negara setempat, sehingga pekerja migran tak berdokumen masih bisa memperbarui paspor mereka di luar negeri. 

Kini, paspor yang kadaluarsa berarti hilangnya satu-satunya bukti identitas resmi mereka. Tanpa dokumen itu, keberadaan mereka di negeri asing menjadi semakin rapuh dan tak terlindungi.

Masalah paspor tidak hanya menyangkut hak asasi manusia untuk diakui secara hukum dan kebebasan bergerak, tetapi juga berkaitan dengan hak atas penghidupan yang layak—hak yang tidak bisa dipenuhi pemerintah Indonesia kepada mereka saat masih di Indonesia. Berdasarkan pengalaman para pekerja migran, ketiadaan paspor berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk akses terhadap layanan kesehatan.  

Baca juga:
Korban TPPO Terpinggirkan Di Lima Pengadilan Indonesia

Pekerja migran tak berdokumen sering ditolak saat ingin berobat di puskesmas dan rumah sakit di Belanda karena paspor mereka sudah kadaluarsa. Sebelumnya, meski tanpa izin tinggal, pemerintah Belanda tetap memberikan layanan kesehatan dengan hanya menunjukkan bukti paspor.

Penolakan layanan kesehatan ini jelas memengaruhi kehidupan sehari-hari orang seperti Nur dan kawan-kawan. Mereka harus menahan sakit dan bergantung pada pengobatan seadanya. Tidak sedikit dari mereka yang memilih kembali ke Indonesia demi meneruskan pengobatan. Padahal, hak atas kesehatan sendiri menurut Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, adalah hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhan minimalnya dalam keadaan apa pun. 

Selain itu, ketiadaan paspor membuat pekerja migran seperti Nur sulit membuka rekening bank. Akibatnya, mereka tidak bisa menyimpan gaji dengan aman maupun mengirimkan uang ke keluarga di Indonesia, meski mereka termasuk salah satu penyumbang devisa terbesar negara. 

Tanpa hak perpanjangan paspor sekalipun, status sebagai pekerja migran tak berdokumen sudah menjadikan mereka kelompok yang rentan dan tidak beruntung: tak ada akses terhadap layanan sosial, perlindungan kerja, dan fasilitas dasar terbatas. 

Alih-alih membuka peluang pemutihan atau pemberdayaan, kebijakan Permenkumham 19/2024 justru membuat pekerja migran tak berdokumen semakin rentan dan terjepit. Ketiadaan perpanjangan paspor kepada mereka menjadi semacam upaya sistematis untuk mengusir pulang pekerja migran tak berdokumen dengan cara yang gampangan. 

Melampaui Nalar Legal dan Ilegal 
Saat kita membicarakan pekerja migran tak berdokumen, tidak cukup hanya melihat mereka dari kacamata hukum—legal atau ilegal. Kita perlu menelisik lebih jauh, pada dampak sosial dan ekonomi yang mereka hasilkan, pada kehidupan dan perjuangan yang sering tak terlihat. 

Jika hanya menekankan status hukum, kita meremehkan kontribusi nyata mereka bagi masyarakat dan ekonomi, sekaligus mengabaikan kompleksitas alasan yang mendorong orang seperti Nur meninggalkan rumah dan keluarga demi mencari kehidupan yang lebih layak. 

Pekerja migran tak berdokumen telah mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor seperti pertanian, konstruksi, perhotelan, dan layanan kebersihan sehingga berkontribusi pada perekonomian dan bahkan berpotensi menurunkan harga bagi konsumen. 

Mereka juga berperan penting dalam komunitas, merawat anak-anak dan lansia, serta membangun usaha-usaha kecil yang memberi kehidupan bagi lingkungan sekitar. Penting untuk melihat mereka sebagai manusia dengan kehidupan, keluarga, dan aspirasi, bukan sekadar angka atau statistik semata.

Baca juga:
Abainya Penegak Hukum Dalam Peringati Hari Anti TPPO

Menggunakan istilah “ilegal” untuk menyebut pekerja migran bisa mereduksi kemanusiaan mereka dan memperkuat stigma negatif. Penting untuk mengakui hak asasi setiap individu, tanpa memandang status legalnya. Saat kita menelisik kehidupan nyata para migran seperti Nur, terlihat sebuah “zona abu-abu” di mana status hukum formal sama sekali tidak mampu menangkap kompleksitas situasi mereka. 

Sebagian besar kehidupan manusia—mungkin bahkan bagian terpentingnya—tidak bisa dibahas hanya dalam kerangka legal atau ilegal. Yang benar dan yang salah bukanlah soal hukum semata. Keduanya rumit dan personal, muncul sebagai respons kita terhadap dunia di sekitar dan terhadap orang-orang yang kita temui.