
Sementara itu, pada Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbaru, Pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) Pertambangan Minerba diperkirakan mengalami kontraksi 21,0 persen pada 2024 dan semakin menurun hingga 14,3 persen pada 2025 dari Outlook 2024. Meskipun begitu, pendapatan dari sektor ini terus mengalami tren peningkatan sejak 2020 hingga 2023.
2. Peran Jasa Pemastian dalam Hilirisasi
Dalam kerangka kebijakan hilirisasi, jasa pemastian berperan sebagai penghubung antara proses teknis industri dan legitimasi komersial. Setelah mineral mentah diproses oleh perusahaan tambang dan dimurnikan melalui smelter domestik, hasil olahan tersebut ditransformasikan menjadi produk bernilai tambah seperti logam, komponen otomotif, atau peralatan elektronik.
Di tahap inilah, lembaga pemastian melalui fungsi pengujian, inspeksi, dan sertifikasi akan memastikan bahwa proses dan produk hilirisasi memenuhi standar teknis, regulasi pemerintah, prinsip keberlanjutan, dan keselamatan.
Sertifikasi yang dikeluarkan tidak hanya menjadi bukti kepatuhan, tetapi juga memperkuat daya saing ekspor dengan meningkatkan kepercayaan negara tujuan terhadap kualitas dan asal-usul produk.
Secara komprehensif, lembaga pemastian juga dapat berperan dalam menelusuri rantai nilai secara menyeluruh, mulai dari verifikasi bahan baku, audit proses produksi, hingga pengujian produk akhir sebelum dikirimkan oleh eksportir atau penyedia logistik. Dengan demikian, jasa pemastian memberikan kontribusi strategis dalam mendukung hilirisasi sebagai proses produksi bernilai tambah.
3. Hilirisasi di Tengah Inisiatif Keberlanjutan
Penerapan kebijakan hilirisasi tidak terpisahkan dari aktivitas sektor pertambangan yang secara historis telah berkontribusi terhadap degradasi lingkungan. Studi pada 2022 oleh Stefan Giljum dan tim yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) mencatat bahwa lebih dari 58% deforestasi akibat pertambangan di negara tropis terjadi di Indonesia sejak 2011 hingga 2019.
Meski dampak ekologis ini patut dicermati, kebijakan hilirisasi terbilang menjadi jalan tengah untuk memaksimalkan nilai tambah sumber daya alam sebelum negara dapat sepenuhnya beralih ke industri baru yang lebih hijau. Oleh karena itu, bagaimana pun, transisi ini sangatlah penitng dan perlu dijalankan secara bertahap, terencana, dan bertanggung jawab.
Baca juga:
COREinsight: Kopdes Merah Putih, Paradoks Gerakan Ekonomi Rakyat
Saat ini, kebijakan hilirisasi di Indonesia dijalankan di tengah inisiatif keberlanjutan nasional dan global. Sebagai contoh, Indonesia terikat oleh komitmen-komitmen lingkungan, seperti Paris Agreement yang diratifikasi dengan UU Nomor 6 Tahun 2016, komitmen Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation plus (REED+) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2008 dan Nomor 78 Tahun 2010, serta kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang berfokus pada transisi menuju energi terbarukan.
Seluruh kesepakatan ini menegaskan satu hal bahwa meskipun hilirisasi digadang sebagai akselerator perekonomian, penerapannya harus tetap memperhatikan akuntabilitas lingkungan dan perlindungan bagi masyarakat sekitar dan generasi mendatang.
4. Rekomendasi
Untuk memastikan kebijakan hilirisasi berjalan sejalan dengan prinsip keberlanjutan, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang mengintegrasikan nilai tambah ekonomi dengan akuntabilitas lingkungan sebagai berikut.
- Penguatan standar dan sistem pengawasan lingkungan perlu diwajibkan bagi pelaku industri hilirisasi, termasuk kewajiban penyusunan pernyataan dampak lingkungan (environmental impact statement) dan audit berkala yang dapat diakses publik. Ini dapat dilaksanakan melalui kerja sama antara kementerian teknis dan lembaga pemastian untuk menjamin bahwa proses produksi tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga bertanggung jawab secara ekologis.
- Pemerintah perlu mendorong pengarusutamaan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam seluruh rantai nilai hilirisasi. Ini mencakup insentif fiskal atau pembiayaan murah bagi smelter dan produsen yang mengadopsi teknologi rendah emisi, sistem sirkular, dan penggunaan energi bersih.
- Perlu adanya mekanisme pelaporan dan pelacakan jejak karbon dari produk hilirisasi untuk mendorong transparansi dan memenuhi standar ekspor global yang semakin ketat terhadap emisi dan asal-usul bahan baku.
- Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memperluas cakupan layanan pemastian menuju model bisnis hijau secara holistik, termasuk penyediaan jasa perhitungan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), verifikasi rantai pasok berkelanjutan (supply chain traceability), dan konsultansi transisi energi. Layanan ini akan
- memperkuat daya saing industri hilirisasi dalam menghadapi regulasi hijau internasional, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan European Union Deforestation Regulation (EUDR), sekaligus membuka peluang bagi lembaga dalam negeri untuk menjadi mitra strategis dalam transformasi ekonomi hijau.
Dengan pendekatan dan rekomendasi ini, hilirisasi tidak hanya menjadi strategi peningkatan pendapatan negara, tetapi juga wujud dari komitmen Indonesia untuk bertumbuh secara berkelanjutan baik secara ekonomi maupun lingkungan.*
