
JAKARTA – Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Nyarwi Ahmad, menyebut Presiden Prabowo Subianto menampilkan sejumlah paradoks.
Di satu sisi, kata Nyarwi, pemikiran Prabowo sangat adaptif dan akseleratif. Dia paham dengan perkembangan dunia dan seterusnya. Tapi sisi lain, ada hal yang tak terhindarkan, yaitu budaya personal. Prabowo berasal dari kelas menengah yang terbiasa dilayani.
“Ada yang membantu, ada orang-orang yang terdekat yang menjadi kepercayaan dan berproses bersama dia. Dan kenyamanan-kenyamanan itu tumbuh sejak lama dan berevolusi,” papar Nyarwi saat berbincang-bincang dengan Unpackingindonesia.com.
‘Kenyamanan’ ini, lanjut Nyarwi, bertunas dan berkembang saat Prabowo bertugas di militer, di partai, hingga dunia bisnis. “Prabowo susah keluar dari lingkaran relasi-relasi yang sudah lama ia bangun,” ujarnya.
Berikut perbincangan Unpackingindonesia.com dengan Nyarwi Ahmad tentang paradoks sang jenderal.
Anda tadi menyebut Prabowo susah keluar dari lingkaran relasi yang ia bangun sejak lama. Apa maksudnya?
Misalnya, tim-tim yang pernah membantu dia, anak-anak didik yang pernah dibesarkan dan membantu dia. Satu sisi itu bagus. Di situ ada kepercayaan. Orang bisa dipercaya untuk menerjemahkan visi-visi dan sebagainya. Tapi sisi lain, kalau kita bicara dalam konteks politik dan kenegaraan, kadang-kadang kan perlu juga membuka diri. Juga berkolaborasi dengan tim-tim di luar itu.
Walaupun saya lihat dia berupaya misalnya, membangun koalisi besar. Itu kan pertarungan Prabowo juga. Banyak orang yang dulunya bahkan berseberangan, dia rangkul. Orang-orang itu bahkan masuk dalam gerbong Prabowo.
Termasuk Jokowi?
Ya Jokowi, misalnya. Itu kan juga contoh upaya Prabowo agak lebih terbuka. Dulu kan pertarungan mereka luar biasa, tapi begitu diajak Pak Jokowi, dia masuk kabinet. Kemudian berusaha lebih dekat dengan gerbong Pak Jokowi. Bahkan dalam pemerintahan juga dibawa. Tapi sisi lain juga ada paradoksnya. Paradoksnya apa? Saya yakin kalau kita lihat dari simak visi-visi politik Prabowo, baik ketika kampanye-kampanye dulu dengan terakhir-terakhir, itu kan konsisten.
Konsistensi itu tidak 100 persen akan sama dengan Jokowi. Sementara kita lihat Prabowo itu visinya melanjutkan pemerintahan Jokowi. Padahal ada core yang berbeda di sana. Ini kan paradoks juga. Dan sekarang ini diakomodasi semua dalam program pemerintahannya. Makanya kalau kita simak kan kenapa misalnya IKN tidak menjadi prioritas. Padahal katanya mau melanjutkan. Ini kan contoh paradoks.
Dulu Pak Jokowi sangat concern dengan BLT (bantuan langsung tunai), nah ini tidak terlalu ditonjolkan. Di zaman Pak Jokowi tidak ada efisiensi, kemudian ini ada efisiensi. Ini kan juga berbeda, ini ada paradoks. Padahal visi yang disampaikan itu melanjutkan. Efisiensi APBN misalnya, dimaksudkan untuk MBG (makan bergizi gratis), tapi sisi lain kita lihat ada Danantara yang juga bagian dari investasi untuk membangun fondasi ekonomi juga.
Apakah ini bisa disebut bentuk pertaruhan atau keberanian Prabowo?
Saya kira ini pertaruhan-pertaruhan Prabowo, dan keberanian juga. Saya kira dia berusaha untuk menerjemahkan visi-misi yang selama ini ada di bukunya, Paradoks Indonesia itu. Pak Prabowo melihat Indonesia ini penuh paradoks; kekayaan alam luar biasa tapi masyarakatnya banyak yang miskin.
Paradoksal ini atau bentuk paradoks Prabowo ini bisa kita sebut sebagai sikap inkonsistensi atau apa?
Inkonsistensi yang tidak bisa dihindari dan mungkin tidak sengaja juga. Karena Indonesia itu ekonominya saja paradoks, bahkan sejak era kolonial. Kalau kita simak kan dulu ada dua struktur ekonomi. Sekarang ada ekonomi formal dan informal. Politik kita kan juga sama, ada politik formal dan informal. Dua-duanya juga harus kita akomodasi.
Makanya pemimpin-pemimpin yang lain itu, mau tidak mau dipaksa harus menerima kenyataan yang seperti ini. Tapi kan kadangkala ada hal yang sifatnya substantif, menyangkut karakter dan visi. Ada hal yang sifatnya mungkin aspek karakter pribadi saja. Misalnya, tadi kita lihat sejauh mana Pak Prabowo itu bisa nyaman dengan di luar circle yang selama ini ada.
Dengan orang baru maksudnya?
Mungkin ya dengan orang-orang baru, misalnya. Mungkin hampir semua tipologi generasi politisi seusia Pak Prabowo banyak yang seperti itu. Apalagi yang dibesarkan di lingkaran militer, di lingkaran priayi. Saya kira banyak yang begitu. Tapi dunia ini kan dinamis terhadap dunia politik, jadi harus mengakomodasi dan makin terbuka.
Bayangkan bahayanya paradoks itu, kalau kita dikelilingi orang yang sama, maka sudut pandang kita homogen. Dan kadangkala sudut pandang subjektif ini menegasikan yang lain. Bahkan bisa jadi mencurigai atau bahkan mengkhawatirkan yang terlalu berlebihan seperti itu. Dan ini bisa jadi tidak bagus.
Padahal bisa jadi ada ide-ide bagus yang harus segera diterima kalau dia membuka diri. Dan bahkan segera diproses atau dieksekusi. Itu contoh. Terus yang kedua, ini kan kadangkala dalam proses komunikasi di internal elite yang menjadi gerbong besar, ini kadangkala juga tidak efektif.
Kita kan mendengar betapa besar peran dari Letkol Teddy, misalnya. Artinya Pak Prabowo itu sangat mengandalkan Teddy. Salah tidak? Ya, tidak salah. Kenapa? Karena selama beberapa tahun, Letkol Teddy yang mampu, katakanlah mengerti dan melayani Pak Prabowo secara dekat.
Yang itu belum tentu juga orang lain bisa seperti Teddy?
Tapi pertanyaannya sebagai presiden hari ini, walaupun dia sebagai sekretaris kabinet, tentu Pak Prabowo butuh banyak berinteraksi juga dengan yang lain. Dan ini saya kira juga yang menjadi tantangan dalam model kepemimpinannya sebagai presiden dalam konteks komunikasi politik, baik internal maupun secara publik.
