
Dalam konteks memimpin Indonesia yang bisa kita katakan baru mengecap demokrasi, paradoks Prabowo ini cocok atau tidak?
Sebagai model politik akomodatif masih bisa dibutuhkan. Orang yang kesannya inkonsisten itu kan kadang-kadang dia merangkul atau mengakomodasi. Misalnya, ketika hari buruh kemarin. Pak Prabowo kan pidato, intinya buruh-buruh harus dikedepankan. Walaupun di sana kan Pak Prabowo juga bilang, buruh ya tidak hanya nuntut-nuntut dong, tapi juga paham kepentingan pengusaha. Ini kan berusaha untuk menjembatani.
Artinya, Pak Prabowo ya sangat suportif terhadap buruh, tapi sisi lain juga memikirkan pengusaha. Ini kan ada paradoksa juga di sana, untuk bisa mengakomodasi. Tapi kalau itu terkait dengan karakter personal yang bisa memengaruhi kepemimpinan, kadangkala ini agak repot.
Kenapa demikian?
Misalnya contoh, mengatakan sebagai pemimpin, dia sangat terbuka, sangat visioner, sangat akomodatif, tapi pada kenyataannya bisa sangat eksklusif. Menyulitkan atau katakanlah susah menerima pendapat di luar circle-nya. Ini yang saya kira kurang bagus, apalagi kalau kritik dan pendapat itu semua bermanfaat. Untuk kepemimpinannya maupun untuk pemikirannya atau citra dirinya sebagai politisi dan negarawan.
Nah, di sini yang saya kira harus dijaga oleh Pak Prabowo maupun oleh inner-circle-nya. Jangan sampai, yang sering dikhawatirkan dalam teori kepresidenan itu, imperial presidency. Presiden sebenarnya orang baik, tetapi karena diperlakukan seperti raja. seperti kaisar, lama-lama kualitas dirinya menurun sebagai negarawan. Padahal, sebenarnya tidak harus begitu. Ini yang bahaya di balik paradoks.
Apakah kondisi juga dialami presiden sebelumnya?
Saya kira ini tidak hanya dialami oleh Pak Prabowo. Siapa pun presidennya. Bahkan dulu Pak Jokowi, beberapa orang mengkritik kan begitu. Dulunya kok enak, tapi belakangan kok agak tertutup. Misalnya, ada yang mengatakan begitu. Karena circle-circle ini yang lebih mudah mengakses.
Kita ambil contoh misalnya, berdasarkan info yang saya dapatkan dari sejumlah sumber. Presiden dan para Menteri telah menetapkan sebuah keputusan di rapat kabinet. Tapi ketika berbicara di luar atau di sebuah forum, kadang tercetus dari Prabowo kata-kata yang mungkin spontanitas, yang tidak berdasarkan apa yang telah disepakati dalam rapat kabinet. Apakah itu juga bisa disebut bentuk paradoksnya?
Bisa jadi. Artinya Prabowo punya otentisitas pemikiran. Yang keberadaan dia sebagai politisi, negarawan, dan juga sebagai individu presiden. Tetapi sisi lain, kepresidenan itu kan kelembagaan. Yang bisa jadi ada norma-norma, ada regulasi-regulasi, fungsi-fungsi lembaga yang sudah jalan. Tapi paradoks itu bukan berarti melahirkan hal yang negatif. Contoh misalnya, ketika Prabowo melihat ada hal-hal yang terkait problem PHK dan sebagainya, dia langsung perintahkan Satgas PHK. Satgas premanisme, misalnya. Itu kan original dari dia. Pertanyaan dalam nomenklatur kelembagaan sebelumnya tidak ada misalnya begitu ya.
Tapi kan sudah ada lembaga-lembaga terkait yang bisa diberdayakan?
Iya betul, tapi kan otentisitas pemikiran dia itu yang original menurut saya. Yang itu juga diperlukan. Artinya, kekuasaan presiden yang ada itu kan kekuasaan yang termasuk pengelolaan kekuasaan perintah. Itu kan sepatutnya normatif. Sejauh mana kekuasaan itu punya daya guna, daya manfaat, dan daya pengaruh yang baik. Itu tergantung pada visi presiden dan keberadaan presiden itu sendiri.
Kita berharap tentunya di balik paradoksalnya Prabowo itu akan melahirkan hal yang positif. Bukan berarti paradoks itu langsung hal yang negatif. Ada negatifnya kayak tadi, iya. Tapi kita berharap juga hal yang lebih inovatif dan positif.
Bisakah kita anggap bahwa sikap yang demikian cocok dan bagus untuk membawa Indonesia ke depan, paling tidak dalam satu periode pemerintahannya?
Sangat mungkin. Contoh misalnya, di tengah kondisi perang hari ini. Kan situasi global ekonomi ada perang dagang, ada ledakan perang India-Pakistan. Selain itu, ada perang Rusia-Ukraina. Dan kita belum tahu kondisi China Selatan dan seterusnya. Feeling, insting, dan pemikiran Prabowo saya kira bisa sangat original di sana. Yang bisa jadi berbeda dengan mainstream.
Tentu kita berharap itu bisa menavigasi Indonesia ini di tengah percaturan ekonomi politik global. Visi besar, mimpi besar ini juga akan rapuh kalau di dalam sistem mengelola kekuasaan Prabowo—baik secara langsung tidak langsung—sengaja tidak langsung menjadi eksklusif. Menjadi terisolasi. Dan itu saya kira menjadi lucu. paradoksnya menjadi semakin kentara di sana. Justru Prabowo perlu lebih terbuka, inner circle-nya juga perlu lebih terbuka untuk menjaga kualitas presidensi Prabowo.
Ada yang ingin Anda tegaskan soal paradoks Prabowo ini?
Paradoks bisa menjadi berkah, bisa menjadi musibah. Dia berkah kalau melahirkan inovasi, keputusan-keputusan yang tepat, yang memang diperlukan untuk menjawab tantangan yang ada. Keputusan-keputusan orisinal, yang memang menjadi solusi untuk bangsa ini ke depan di tengah dinamika politik nasional dan global.
Tapi dia akan menjadi hal yang negatif. Akan menjadi musibah kalau melahirkan imperial presidency. Presiden yang makin—katakanlah—terisolasi dari relasi komunikasi politik yang terbuka. Dari masukan-masukan yang berharga. Dari kritik-kritik publik yang baik, yang sebenarnya bisa membantu dia untuk berefleksi, untuk melahirkan kebijakan-kebijakan baru dan kearifan-kearifan baru untuk negara dan bangsa ini.
Orang terdekat Prabowo, pembantu Presiden, anggota kabinet dan sebagainya, harus menjaga ini dan paham tentang risiko plus minus dari paradoks Prabowo. Sekaligus juga memahami ketika Prabowo melihat paradoks Indonesia itu sendiri.*
