
JAKARTA – Sidang uji materi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai perbedaan sikap tajam antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (1/10/2025).
Dalam gugatan yang dilayangkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto, pemerintah dengan tegas meminta MK menolak seluruh permohonan, sementara DPR justru berpandangan sebaliknya.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang diwakili oleh Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mendesak majelis hakim untuk menolak gugatan Hasto secara keseluruhan. Pemerintah menilai Hasto tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut.
“Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum,” ujar Leonard dalam sidang di ruang pleno MK, Jakarta Pusat. “Kami memohon Mahkamah menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima.”
Baca juga:
KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Kalbar dan Bupati Mempawah
Lebih lanjut, pemerintah menegaskan bahwa Pasal 21 UU Tipikor mengenai perintangan penyidikan (obstruction of justice) yang digugat Hasto tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dipertahankan.
Sikap DPR Berseberangan
Pandangan pemerintah ini bertolak belakang dengan sikap DPR RI. Melalui perwakilannya, I Wayan Sudirta, DPR menilai permohonan Hasto untuk merevisi ancaman pidana dalam pasal tersebut justru patut dikabulkan.
DPR setuju dengan argumen pemohon bahwa ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara bagi pelaku obstruction of justice tidak proporsional, karena lebih tinggi dari ancaman pidana untuk kejahatan pokoknya, seperti penyuapan.
“Permohonan Hasto terkait ancaman maksimal pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dikurangi dari 12 tahun menjadi 3 tahun harus dikabulkan oleh MK,” kata I Wayan Sudirta, menyuarakan pandangan lembaga legislatif.
Proporsionalitas Hukuman Jadi Pokok Masalah
Gugatan ini diajukan Hasto Kristiyanto karena menilai ancaman pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor tidak adil dan tidak proporsional. Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menjelaskan bahwa hukuman bagi pelaku yang merintangi proses hukum tidak seharusnya melampaui hukuman untuk pelaku kejahatan utamanya.
Maqdir mencontohkan, dalam kasus suap, pelaku pemberi suap diancam pidana maksimal 5 tahun penjara. Sementara itu, pihak yang terbukti merintangi penyidikan kasus suap tersebut, misalnya dengan merusak barang bukti, justru diancam pidana minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
“Pada pokoknya, kami menghendaki agar hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional. Hukuman untuk perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” jelas Maqdir beberapa waktu lalu. “Ini yang menurut kami tidak proporsional.”
