
Menegakkan Aturan ODOL di Bawah Bayang-Bayang Inflasi
Penanganan ODOL sering kali terhenti bukan karena lemahnya komitmen hukum, melainkan karena kekhawatiran pemerintah terhadap dampak ekonominya. Penegakan aturan secara ketat akan langsung menurunkan kapasitas angkut truk, yang kemudian mendorong kenaikan ongkos kirim dan biaya logistik secara keseluruhan.
Dalam situasi ini, kenaikan harga barang di pasar menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Ketakutan terhadap efek domino inilah yang membuat pemerintah cenderung berhati-hati, bahkan menahan diri untuk bertindak tegas. Bukan karena takut pada pelaku pelanggaran, tetapi karena khawatir penertiban serentak justru akan memicu inflasi dan mengguncang harga barang pokok. Risiko ini tentu tidak diinginkan siapa pun, terutama saat pemerintah tengah berupaya menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat.
Situasi ini menciptakan dilema kebijakan. Di satu sisi, pemerintah berkepentingan menegakkan aturan demi keselamatan pengguna jalan dan demi menjaga kelayakan dan usia teknis jalan. Di sisi lain, ada tekanan kuat untuk menjaga stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang. Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan, terutama di tengah sistem logistik nasional yang belum efisien. Bahkan di tingkat pelaksana, kerap muncul pertanyaan praktis: bagaimana jika penegakan hukum terlalu ketat dan justru menyebabkan lonjakan harga sembako atau bahan bangunan?
Inilah paradoks dalam penanganan ODOL: membiarkan pelanggaran berarti merelakan jalan rusak dan keselamatan terancam, tapi menertibkan secara serentak dan terlalu ketat juga bisa menimbulkan gejolak ekonomi, inflasi. Karena itu, solusinya bukan dengan razia besar-besaran di lapangan, melainkan merancang penegakan hukum yang berbasis data komoditas—dilakukan secara bertahap, selektif, dan disesuaikan dengan karakter serta sensitivitas tiap jenis barang yang diangkut.
ODOL Tak Bisa Ditertibkan dengan Satu Resep untuk Semua
Seperti halnya seorang dokter tak akan memberikan resep obat yang sama kepada semua pasien, kebijakan truk ODOL juga butuh pendekatan dan penanganan berbeda tiap komoditas. Bayangkan, menertibkan truk pengangkut batu bara jelas berbeda tantangannya dengan menertibkan truk sayur dari lereng Dieng yang berpacu dengan waktu demi menjaga kesegaran. Salah diagnosis, salah penanganan—dan yang dirugikan bukan hanya pelaku usaha, tapi juga masyarakat luas sebagai konsumen akhir.
Sayangnya, pendekatan yang selama ini diambil pemerintah masih terlalu generik, terlalu disamaratakan, seolah semua pelanggaran ODOL memiliki sebab dan dampak yang serupa. Padahal, tiap jenis komoditas punya karakter unik: rantai distribusi, struktur biaya, dan sensitivitas harga yang berbeda-beda. Kenaikan biaya angkut 10% untuk batubara mungkin hanya berpengaruh kecil, tapi untuk cabai atau bawang, bisa langsung menaikkan harga 15-20% di pasar, dampaknya bisa langsung dirasakan konsumen. Karena itu, kebijakan ODOL harus disesuaikan dengan karakter barang yang diangkut. Inilah pentingnya pendekatan berbasis data dan komoditas, bukan pendekatan satu resep untuk semua.
Karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih cermat dan berbasis data. Langkah awalnya adalah dengan melakukan pemetaan komoditas secara menyeluruh. Pemerintah perlu mengetahui komoditas apa saja yang paling banyak diangkut oleh truk ODOL—apakah dominan di sektor tambang, pangan, bahan bangunan, atau barang industri.
Setelah itu, perlu dikaji lebih dalam: seberapa besar porsi ongkos logistik dalam membentuk harga jual akhir? Bagaimana sensitivitas harga komoditas tersebut terhadap perubahan biaya angkut? Dan apa dampak sosial-ekonomi yang mungkin timbul jika penegakan ODOL diterapkan? Dari sinilah kebijakan penertiban bisa dirancang lebih tepat sasaran. Tidak lagi seperti obat generik, tapi seperti resep khusus yang disesuaikan dengan pemahaman atas kondisi masing-masing komoditas.
Bertahap dan Tepat Sasaran: Cara Cerdas Menertibkan ODOL
Untuk menangani truk ODOL, pendekatan berbasis data komoditas menjadi kunci. Strategi ini memungkinkan penertiban dilakukan secara lebih bijak – tidak membebani sektor yang rentan terhadap kenaikan biaya logistik, seperti pangan dan kebutuhan pokok, tapi tetap konsisten menegakkan aturan. Langkah bertahap bisa dimulai dari komoditas dengan ketahanan ekonomi kuat dan risiko inflasi rendah. Untuk kebutuhan pokok seperti bahan pangan, pemerintah bisa memberikan masa transisi disertai insentif.
Sementara untuk barang mewah atau elektronik yang sering melanggar tapi dampak ekonominya kecil, penertiban bisa dilakukan lebih ketat. Inilah esensi pendekatan baru: penegakan hukum yang mempertimbangkan jenis komoditas, bukan sekadar jenis kendaraan. Dengan cara seimbang seperti ini, transisi menuju kepatuhan bisa berjalan lebih adil tanpa mengguncang ekonomi.
