
Media sosial juga berperan dalam menghimpun partisipasi publik melalui dukungan online maupun offline. Kampanye digital yang interaktif mendorong masyarakat untuk terlibat dalam diskusi, memberikan dukungan lewat like, share, dan komentar, serta berpartisipasi dalam kegiatan kampanye nyata. Partisipasi aktif para pendukung ini memperkuat momentum kampanye dan membentuk rasa kebersamaan di antara pemilih.
Terakhir, media sosial membantu memantau dan memastikan transparansi dalam proses pemilu. Penggunaan platform untuk melaporkan pelanggaran, memantau hasil pemungutan suara, dan membagikan informasi seputar proses pemilu memberikan rasa keadilan dan transparansi, serta membangun kepercayaan publik bahwa suara mereka benar-benar dihitung.
Secara keseluruhan, Unpacking memberikan dampak besar terhadap diskursus politik di Indonesia melalui penyampaian informasi yang mendalam dan terpercaya, mendorong partisipasi aktif, serta mempromosikan lanskap politik yang lebih inklusif dan dapat diakses.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Interaksi Simbolik merupakan pendekatan dalam sosiologi yang menekankan pentingnya simbol dan interaksi sosial dalam membentuk makna dan identitas. Dalam konteks politik, teori ini membantu kita memahami bagaimana simbol-simbol politik seperti bendera, slogan, tokoh politik, serta interaksi antara politisi dan publik memengaruhi persepsi dan tindakan politik.
Simbol politik berperan penting dalam membentuk identitas dan loyalitas politik. Misalnya, logo partai, warna kampanye, dan retorika politisi menyampaikan nilai dan tujuan politik kepada masyarakat, menciptakan rasa kebersamaan dan identitas kolektif di antara para pendukung suatu partai atau calon tertentu.
Interaksi antara politisi dan masyarakat melalui pidato, debat, kampanye, atau media sosial merupakan bentuk interaksi simbolik di mana makna dan pesan politik dibentuk dan dinegosiasikan. Dalam interaksi ini, politisi membangun citra positif dan memperoleh dukungan publik melalui bahasa, gestur, dan simbol.
Sebaliknya, masyarakat juga berinteraksi dengan politisi untuk menyampaikan harapan, aspirasi, dan kritik mereka. Kampanye politik adalah contoh konkret penerapan teori interaksi simbolik, di mana politisi menggunakan simbol-simbol seperti slogan yang menarik dan penampilan yang merepresentasikan nilai-nilai tertentu untuk menarik perhatian dan dukungan.
Di era digital, interaksi simbolik juga terjadi di media sosial. Politisi menggunakan platform ini untuk berkomunikasi langsung dengan publik, mengomentari isu-isu terkini, dan membentuk opini publik. Simbol-simbol seperti tagar, meme politik, dan unggahan visual menjadi alat penting dalam menyampaikan pesan politik dan membentuk persepsi. Media sosial memungkinkan politisi menjangkau audiens yang lebih luas dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan pemilih.
Arrianie (2023:35) menjelaskan bahwa teori interaksi simbolik memberikan kerangka untuk memahami bagaimana simbol dan interaksi sosial membentuk dinamika politik. Dalam politik, simbol dan interaksi antara politisi dan publik memainkan peran penting dalam membentuk makna, identitas, dan tindakan politik. Dengan memahami proses ini, kita dapat lebih menghargai kompleksitas komunikasi politik dan pengaruhnya terhadap persepsi serta partisipasi politik masyarakat.
Peneliti melihat bahwa Teori Interaksi Simbolik menurut Mead ingin menyampaikan bahwa keberadaan seseorang dalam kelompok sosial akan memiliki fungsi dan perilaku berbeda-beda tergantung pada posisi atau perannya. (Rahayu, 2010). Penelitiannya menyatakan bahwa dalam interaksi simbolik, pihak-pihak yang berinteraksi mengambil peran yang seimbang agar komunikasi dapat berjalan secara efektif.
Dalam interaksi simbolik, orang menafsirkan tindakan dan isyarat satu sama lain berdasarkan makna yang dihasilkan dari penafsiran tersebut. Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan aktivitas sosial manusia yang dinamis; individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan serta menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diprediksi (Mulyana, 2008).
Burke & Stets (2022:9) menyatakan bahwa teori interaksi simbolik adalah teori dalam sosiologi yang menekankan pentingnya simbol dan interaksi sosial dalam membentuk makna dan realitas sosial. Teori ini berfokus pada bagaimana individu menciptakan, memodifikasi, dan menafsirkan simbol dalam interaksi sosial sehari-hari. George Herbert Mead dan Herbert Blumer adalah tokoh utama yang mengembangkan teori ini, menjadikannya salah satu pendekatan utama dalam sosiologi (Wirawan, 2012, hlm. 97).
Turner (93:2008) menjelaskan bahwa simbol adalah konsep kunci dalam teori interaksi simbolik. Simbol memiliki makna khusus yang disepakati oleh anggota masyarakat, seperti kata-kata, gerakan, dan objek. Misalnya, kata “meja” adalah simbol yang mewakili benda fisik yang digunakan untuk meletakkan barang.
Simbol-simbol ini membantu individu berkomunikasi dan memahami dunia di sekitarnya melalui makna yang mereka miliki. Blumer (1986:5) menjelaskan bahwa makna adalah interpretasi yang diberikan individu terhadap simbol berdasarkan interaksi sosial. Makna tidak bersifat tetap dan dapat berubah tergantung pada konteks interaksi.
Misalnya, senyuman dapat diartikan sebagai tanda keramahan dalam satu konteks, tetapi bisa juga diartikan sebagai tanda sarkasme dalam konteks lain. Oleh karena itu, makna dari simbol-simbol tersebut bersifat dinamis dan selalu ditafsirkan ulang oleh individu dalam interaksi sosial mereka.
Fenomena penggunaan media sosial telah memberikan penggunanya kebebasan luar biasa untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan orang lain. Namun, kebebasan ini perlu diinterpretasikan dengan baik, karena dapat menyebabkan penyalahgunaan platform untuk penyebaran misinformasi, ujaran kebencian, dan perilaku tidak etis lainnya.
Kondisi ini tentu perlu diatasi dengan meningkatkan kesadaran pengguna akan tanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Kita harus mengingatkan setiap pengguna media sosial bahwa manusia berbeda dari hewan karena manusia adalah animal symbolicum — makhluk yang hidup dengan simbol (Lofts, 2000, hlm. 64).
Sebagai makhluk yang hidup dengan simbol, manusia dapat menggunakan bahasa, gambar, dan tanda-tanda lain untuk berkomunikasi dan menciptakan makna. Kemampuan ini seharusnya digunakan untuk tujuan yang positif dan konstruktif, bukan untuk merusak atau menyakiti orang lain.
