133 views 7 mins 0 comments

Premanisme, Patologi Sosial, dan Lemahnya Ekosistem Pertahanan Negara

In Kolom
May 13, 2025

JAKARTA – Premanisme menjadi isu yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir. Mulai dari adanya pungutan liar yang dilakukan oleh berbagai ormas jelang perayaan Idul Fitri, hingga konflik terbuka antara Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dengan salah satu pimpinan ormas terkait aksi premanisme di wilayah Jabar yang meresahkan masyarakat dan mengganggu iklim investasi.

Teranyar, pemerintah akhirnya membentuk Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme dan Ormas Meresahkan yang dipimpin oleh Kemenko Polkam RI. Satgas ini dibentuk untuk melakukan penegakan hukum dalam rangka menciptakan ketertiban dan rasa aman bagi masyarakat.

Penyakit masyarakat

Premanisme merupakan bentuk patologi sosial, yakni penyakit sosial yang hidup di masyarakat. Sebagai patologi sosial, premanisme sudah ada sejak zaman kolonial dan bertahan hingga kini.

Secara sosiologis, premanisme muncul ketika ada individu atau kelompok masyarakat yang memiliki kapasitas fisik dan sumber daya lainnya yang lebih unggul dibandingkan dengan individu dan kelompok masyarakat lainnya, serta mampu memberikan ancaman yang dapat memaksa individu atau kelompok masyarakat lainnya memenuhi permintaan dari pelaku atau para pelaku premanisme.

Premanisme kemudian menjadi tumbuh subur dan masif ketika ada celah penegakan hukum di masyarakat, yakni ketidakhadiran para penegak hukum yang diberikan mandat untuk menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat.

Premanisme berkelitkelindan dengan persoalan ekonomi. Mereka yang menjadi subjek premanisme umumnya didominasi oleh kelompok masyarakat yang termarginalkan baik dari sisi mata pencaharian dan pendapatan, kelas sosial, maupun dalam konteks objek pembangunan. Maka tidak mengherankan, dalam aras pembangunan nasional yang masih berat di wilayah barat Indonesia, premanisme muncul dan tumbuh subur di wilayah-wilayah yang masih tertinggal secara ekonomi, sebut saja wilayah-wilayah timur Indonesia.

Di kota-kota besar seperti Jabodetabek, premanisme jamak dibangun dari wilayah pinggiran. Habituasi premanisme tersebut kemudian bermigrasi ke wilayah lain dan mewujud dalam bentuk ormas-ormas yang dibangun dalam rangka menciptakan “pemerataan pendapatan” secara ilegal, melalui cara-cara yang melawan hukum.

Kita bisa melihat praksis empiriknya di wilayah Jakarta, premanisme mewujud dalam bentuk operasi parkir liar dengan tarif tinggi dan jasa pengamanan pasar dan tempat-tempat umum oleh ormas-ormas tertentu. Aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan, alih-alih menjaga keamanan, tapi justru meresahkan masyarakat dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Premanisme bisa dilakukan secara brutal dan telanjang, tapi juga bisa dilakukan dengan cara-cara terselubung. Aparatur di lingkungan RT/RW misalnya, tak jarang melakukan pungutan liar dengan berbagai dalih untuk pelaksanaan kegiatan kemasyarakatan yang tidak jelas. Aparatur di tingkat terkecil di masyarakat ini umumnya terafiliasi dengan ormas-ormas tertentu dan melakukan pungutan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok.

Sebagai contoh, jika ada proyek-proyek pemerintah seperti pengecoran jalan, mereka tetap memungut uang di masyarakat dengan dalih proyek tembus karena ada campur tangan mereka. Dengan dalih gaji bulanan yang kecil, aparatur di lingkungan RT/RW juga melakukan pungutan terhadap para pelaku usaha kecil dengan argumentasi sebagai bentuk kompensasi jasa pengamanan dan kebersihan lingkungan yang diberikan.

Perilaku-perilaku seperti ini sungguh disayangkan karena mengkhianati amanah masyarakat yang diberikan kepada mereka. Masyarakat yang tadinya hidup aman dan nyaman, justru merasa terbebani dengan adanya aksi-aksi premanisme terselubung seperti ini.

Celah negara

Premanisme dalam bentuk apapun seyogianya tidak akan eksis di masyarakat apabila pranata penegak hukum menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan konsisten dan penuh tanggung jawab. Dalam konteks yang lebih besar, premanisme tidak perlu ada jika ekosistem pertahanan negara solid dalam mewujudkan keamanan nasional dari lini terkecil di masyarakat hingga level berbangsa dan bernegara seperti pengamanan proyek-proyek strategis nasional yang menjadi objek premanisme dewasa ini.

Dalam konteks keamanan domestik, Polri hadir hingga level subsektor guna memelihara ketertiban masyarakat. Dari sisi TNI, ada Babinsa yang bertugas di bawah Koramil untuk membantu memelihara keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat, bahkan melatih satuan perlawanan rakyat.

Hal yang sama juga berlaku pada personel BIN di daerah yang bertugas melakukan cegah dan deteksi dini terhadap segala hal yang berpotensi mengancam keamanan nasional, dari level terkecil di masyarakat.

Jika hari ini publik melihat bahwa eksistensi premanisme tumbuh subur dan berlangsung masif, maka premis sederhana yang bisa dikemukakan adalah mereka hadir karena karena aparatur penegak hukum dan ekosistem pertahanan negara tidak optimal menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Pada taraf yang lebih ekstrem, tidak bisa dinafikan bahwa ada kolusi antara aparat penegak hukum dengan para pelaku premanisme tersebut, terutama premanisme yang dilakukan oleh ormas. Ini premis brutal, tapi bisa dilihat relevansinya secara empirik. Jika hari ini publik melihat ada ormas yang tidak segan melakukan ancaman pembunuhan terhadap kepala daerah dan melakukan penghinaan secara terbuka terhadap para pejabat dan pensiunan militer, bukan tidak mungkin ormas tersebut mendapat perlindungan dari kekuatan politik atau oknum di kalangan penegak hukum itu sendiri.

Jika merujuk pada labirin dinamika sosial keamanan nasional, relasi ormas dengan institusi penegak hukum dan ekosistem pertahanan negara untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu bukan lagi menjadi suatu hal yang bersifat rahasia.

Optimalisasi

Pemerintah boleh saja membentuk Satgas Premanisme sebagai kebijakan publik untuk merespons isu yang sedang berkembang. Namun, yang lebih penting untuk dilakukan adalah bagaimana pemerintah mengoptimalkan kerja-kerja dari ekosistem pertahanan negara sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Premanisme akan sulit hidup jika Polri dan TNI solid dalam melakukan pengawasan ketat dan pemeliharaan keamanan secara komprehensif terhadap wilayah hukum dan teritorial masing-masing. Personel Polri dan TNI harus berkhidmat dengan amanah yang diemban dan tidak memberikan atau mendelegasikan sebagian kewenangannya untuk dijalankan pihak lain, apalagi ormas.

Fenomena lampu lalu lintas yang dikelola oleh Pak Ogah merupakan salah satu contoh. Jikapun pemerintah sudah terlanjur membentuk satgas khusus untuk memberantas premanisme, maka langkah yang paling utama dan pertama untuk dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap keberadaan ormas-ormas tersebut, terutama kegiatan- kegiatan yang dioperasionalisasikan.

Jika terbukti ormas-ormas tersebut menjalankan kegiatan ilegal dan melanggar hukum, maka institusi terkait seperti Kemendagri, Kemenkum, dan Polri harus memberikan sanksi yang tegas, mulai dari pencabutan izin hingga sanksi pidana.

Pada sekup yang lebih besar, adanya aksi premanisme, terutama yang dilakukan oleh ormas, semestinya menjadi pemantik bagi pemerintah untuk menguatkan perekonomian masyarakat. Premanisme akan punah dengan sendirinya tatkala masyarakat semakin sejahtera dan memperoleh keadilan sosial.*

Boy Anugerah, Pengamat Militer dan Hubungan Internasional.