107 views 15 mins 0 comments

Revolusi Efisiensi: Ambisi Besar atau Hanya Janji?

In Kolom
March 15, 2025

JAKARTA – Saya ingat betul, dulu ayah saya selalu berpesan, “Kalau bisa lebih hemat, kenapa harus boros?”

Pesan itu sederhana. Tapi, makin ke sini, saya sadar betapa sulitnya prinsip itu diterapkan di negeri ini. Terlalu banyak pemborosan. Anggaran menguap. Proyek mangkrak. Energi terbuang. Seolah-olah efisiensi hanyalah jargon kosong yang berulang kali digaungkan,api tak pernah benar-benar menjadi budaya.

Awal Sebuah Perubahan

Saya membaca sebuah berita tentang proyek pembangunan jalan yang terbengkalai. Foto-fotonya mencolok, hamparan tanah merah berlubang, genangan air kecokelatan di antara bongkahan batu, dan rangkaian besi tulangan yang mencuat dari beton yang mulai berkarat. Plang proyek masih berdiri kokoh, bertuliskan angka miliaran rupiah, tetapi di lokasi itu hanya ada jalan setengah jadi yang tertutup semak belukar.

Warga setempat tampak duduk di teras rumah, menatap jalan yang tak kunjung selesai. Seorang ibu menggendong anaknya, mengeluhkan betapa sulitnya berjalan di jalur itu ketika hujan turun. Seorang sopir angkutan desa bercerita bagaimana ia harus memutar lebih jauh, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, hanya karena proyek ini terhenti tanpa kejelasan. Janji pemerintah sudah terlalu lama mereka dengar. Tapi hasilnya? Nihil.

Di media lain, saya membaca tentang program efisiensi yang sedang digalakkan. Seorang pejabat tampil di layar televisi, berbicara dengan penuh keyakinan. Katanya, penghematan anggaran harus menjadi prioritas. Setiap rupiah harus digunakan dengan bijak. Tidak boleh ada pemborosan. Ia berbicara dengan data, dengan paparan yang tampak meyakinkan.

Namun, di saat yang bersamaan, laporan lain muncul. Anggaran perjalanan dinas dan rapat koordinasi justru meningkat. Konferensi di hotel berbintang tetap berjalan. Acara-acara resmi dengan jamuan mewah masih berlangsung. Seolah-olah penghematan hanya berlaku bagi sebagian orang, sementara kebiasaan lama tetap lestari di balik layar.

Program studi banding juga masih menjadi fenomena yang terus berulang. Para pejabat dikirim ke negara maju untuk mempelajari sistem pemerintahan yang lebih efisien. Tapi sepulangnya, tak ada perubahan signifikan yang terjadi. Sistem yang seharusnya dipermudah tetap berbelit.

Digitalisasi yang dijanjikan masih berjalan lambat. Laporan perjalanan disusun rapi, penuh rekomendasi, tetapi implementasi di lapangan sering kali minim aksi nyata. Hanya tumpukan dokumen yang akhirnya tersimpan rapi di rak, menunggu dilupakan oleh waktu.

Indonesia sudah lama bergulat dengan permasalahan inefisiensi di berbagai sektor. Dari birokrasi yang lamban, industri yang boros energi, hingga alokasi anggaran yang tidak optimal. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sering kali bocor dalam rantai administrasi yang panjang dan berliku. Proses perizinan berbelit-belit, proyek infrastruktur mandek karena koordinasi yang buruk, dan subsidi energi yang tidak tepat sasaran menjadi gambaran sehari-hari bagaimana inefisiensi menjadi penyakit kronis di negeri ini.

Setiap pemerintahan selalu datang dengan janji reformasi. Namun, seberapa besar hasil yang benar-benar dirasakan masyarakat? Kita sudah melihat berbagai program efisiensi di masa lalu, tetapi banyak yang gagal diimplementasikan karena kepentingan politik dan resistensi dari dalam sistem itu sendiri. Budaya birokrasi yang gemuk dan cenderung koruptif menjadi hambatan utama bagi perubahan yang nyata. Tanpa komitmen yang jelas, efisiensi hanya menjadi wacana tanpa realisasi.

Namun, ada secercah harapan ketika Presiden Prabowo mencanangkan gerakan efisiensi nasional. Awalnya, saya mengira ini hanya sekadar retorika politik, sebuah janji yang terdengar indah namun sulit diwujudkan. Tapi ketika ia memulainya dari sektor birokrasi, memangkas anggaran yang tidak perlu, mempercepat proses perizinan, dan menggalakkan digitalisasi layanan publik, saya mulai melihat kemungkinan bahwa ini bisa menjadi awal dari perubahan besar.

Jika birokrasi sebagai mesin utama pemerintahan bisa lebih ramping, cepat, dan efisien, bukan tidak mungkin dampaknya akan merembet ke sektor lain. Jika birokrasi bisa berubah, industri bisa lebih produktif, sektor energi bisa lebih hemat, dan keuangan negara bisa lebih sehat. Itulah harapan yang ingin diwujudkan melalui revolusi efisiensi ini.

Tapi pertanyaannya, mampukah revolusi efisiensi ini benar-benar mengubah wajah Indonesia? Ataukah ini hanya akan menjadi satu lagi bab dalam buku tebal sejarah janji-janji reformasi yang tak pernah ditepati? Kita sudah terlalu sering mendengar janji manis efisiensi. Tapi sampai kapan kita terus dibuai dengan angan-angan?

Masalah Klasik, Solusi yang Selalu Tertunda

Saya masih ingat berita tentang proyek infrastruktur yang anggarannya membengkak. Dari awalnya Rp100 miliar, tiba-tiba naik dua kali lipat. Alasannya? Macam-macam. Mulai dari perencanaan yang buruk sampai permainan anggaran. Itu baru satu contoh. Proyek-proyek serupa banyak terjadi di daerah lain, dengan alasan klasik: administrasi yang lamban, koordinasi yang buruk, serta praktik mark-up yang sulit diberantas.

Sektor industri juga tak luput dari permasalahan ini. Banyak pabrik yang masih menggunakan mesin-mesin tua yang boros energi. Padahal, jika mereka mau mengadopsi teknologi yang lebih hemat listrik dan bahan bakar, biaya operasional bisa ditekan dengan signifikan. Namun, ketidakpastian kebijakan dan minimnya insentif membuat banyak pelaku industri enggan berinvestasi dalam efisiensi.

Di sektor UMKM, masalahnya berbeda lagi. Banyak usaha kecil yang seharusnya bisa berkembang lebih cepat, tetapi terkendala akses modal dan perizinan yang terlalu berbelit. Alih-alih membantu, regulasi yang ada justru memperlambat pertumbuhan mereka. Dana bantuan usaha sering kali tersendat, birokrasi pinjaman sulit ditembus, dan program bantuan pemerintah tidak selalu tepat sasaran.

Tak ketinggalan, sektor pendidikan juga mengalami inefisiensi yang mencolok. Dana BOS yang diperuntukkan bagi operasional sekolah kerap mengalami keterlambatan pencairan. Akibatnya, banyak sekolah di daerah terpencil harus bertahan dengan fasilitas seadanya. Guru-guru di pelosok pun masih harus merogoh kocek sendiri untuk membeli alat peraga atau bahkan sekadar memperbaiki ruang kelas yang rusak.

Di sektor energi, subsidi bahan bakar masih menjadi momok besar. Setiap tahunnya, triliunan rupiah dihabiskan untuk mensubsidi BBM dan listrik, tetapi manfaatnya belum terasa optimal. Alih-alih membantu masyarakat miskin, subsidi energi justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok ekonomi menengah ke atas yang konsumsi energinya jauh lebih besar.

Prabowo memulai efisiensi dari birokrasi. Tapi, saya bertanya-tanya, bisakah ini merembet ke sektor lain? Bisakah kita benar-benar menjadi negara hemat dan produktif?

Siapa Bertanggung Jawab?

Kita semua sepakat bahwa efisiensi adalah kunci kemajuan. Tapi, pertanyaannya, dari mana harus memulainya?

Tentu, yang paling utama adalah menanamkan pola pikir bahwa efisiensi bukan berarti sekadar menghemat, melainkan mengoptimalkan. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus memberikan dampak nyata. Anggaran harus direncanakan dengan matang, bukan hanya mengikuti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Tak boleh ada lagi pengeluaran seremonial yang hanya menghamburkan dana tanpa manfaat yang jelas.

Lalu, sistem birokrasi harus berubah. Jangan sampai efisiensi hanya jadi wacana, tapi realitas di lapangan tetap lamban dan berbelit. Pelayanan publik harus lebih cepat, sederhana, dan berbasis teknologi. Tidak ada lagi meja-meja yang penuh tumpukan berkas hanya karena sistem digitalisasi yang tak pernah benar-benar berjalan.

Para pejabat negara, mulai dari menteri, kepala daerah, hingga pejabat tingkat bawah, harus memberi contoh nyata. Mereka adalah motor utama dari kebijakan efisiensi ini. Jika mereka tetap mempertahankan gaya hidup mewah dengan fasilitas negara, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa efisiensi ini benar-benar diterapkan? Mereka harus menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga pelaku utama dalam perubahan ini.

Kepala daerah harus lebih mandiri dalam menerapkan efisiensi di wilayahnya. Jangan hanya menunggu arahan dari pusat. Daerah memiliki potensi dan tantangannya sendiri. Jika anggaran bisa dialokasikan lebih bijak, banyak persoalan di tingkat lokal yang bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan tepat.

Wakil rakyat juga tak bisa lepas dari tanggung jawab ini. Mereka yang duduk di kursi legislatif harus memastikan bahwa kebijakan efisiensi berjalan dengan baik. Bukan hanya sekadar menyetujui anggaran, tapi benar-benar mengawasi implementasinya. Jangan sampai mereka malah sibuk dengan perjalanan dinas ke luar negeri atau proyek-proyek yang justru memperbesar pemborosan.

Di sektor industri, inovasi harus menjadi prioritas. Efisiensi energi dan pengurangan biaya operasional bukan hanya sekadar tren, tapi kebutuhan. Insentif bagi perusahaan yang menerapkan teknologi hemat energi harus diperkuat. Begitu pula dengan regulasi yang mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan tanpa memberatkan pelaku usaha.

Di tingkat daerah, kepala daerah harus mampu mencari solusi kreatif. Jangan hanya menunggu kebijakan dari pusat. Setiap daerah punya tantangan dan potensinya sendiri. Efisiensi di kota besar mungkin berarti pengurangan subsidi transportasi, sementara di daerah bisa berarti peningkatan kemandirian energi dengan sumber daya lokal.

Dan terakhir, efisiensi tidak akan berjalan tanpa keterlibatan masyarakat. Kesadaran publik tentang pentingnya efisiensi harus ditingkatkan, bukan hanya dalam skala nasional, tetapi juga dalam keseharian. Mulai dari penggunaan energi, pengelolaan sampah, hingga pola konsumsi yang lebih bijak.

Pada akhirnya, efisiensi bukan hanya urusan pemerintah. Ini adalah tanggung jawab bersama. Sebab, sebuah bangsa yang besar bukan hanya karena sumber dayanya yang melimpah, tetapi karena cara mereka mengelolanya dengan bijak dan bertanggung jawab.

Publik Butuh Bukti, Bukan Janji

Rakyat sudah terlalu sering mendengar janji-janji efisiensi. Tapi, apa buktinya? Tanpa transparansi, semua hanya akan terdengar seperti pidato politik. Masyarakat perlu melihat hasil nyata, bukan sekadar angka-angka yang diumumkan tanpa konteks yang jelas.

Pemerintah harus aktif melaporkan progres efisiensi ini secara berkala. Bukan hanya dalam bentuk laporan tahunan yang penuh angka-angka teknis, tapi dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh publik. Bisa lewat infografis, video singkat, atau bahkan laporan interaktif yang bisa diakses siapa saja. Jangan biarkan rakyat hanya menebak-nebak.

Salah satu cara paling efektif adalah dengan membuat dashboard transparansi anggaran. Sebuah platform digital yang menampilkan berapa besar anggaran yang berhasil dihemat, bagaimana efisiensi diterapkan di setiap kementerian, dan dampak konkret yang dirasakan masyarakat. Jika ada pejabat yang masih boros, biarkan publik tahu siapa mereka.

Selain itu, publikasi hasil efisiensi harus lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Misalnya, jika digitalisasi layanan publik berhasil memangkas waktu pengurusan izin usaha dari satu bulan menjadi satu minggu, itu harus diumumkan dengan jelas. Kalau ada daerah yang berhasil menekan anggaran perjalanan dinas dan mengalihkan dananya untuk infrastruktur sekolah, masyarakat harus tahu.

Media juga punya peran penting. Jangan hanya memberitakan target efisiensi, tapi juga mengawal implementasinya. Wartawan dan aktivis perlu mengawasi bagaimana anggaran dialihkan, apakah benar-benar berdampak, atau hanya sekadar laporan di atas kertas.

Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap program efisiensi ini bergantung pada satu hal: bukti nyata yang bisa dirasakan langsung. Tanpa itu, semua hanya akan jadi slogan kosong, seperti banyak janji yang pernah dibuat sebelumnya.

Perubahan Tidak Bisa Ditunggu

Saya percaya, efisiensi bukan hanya tugas pemerintah. Ini soal budaya. Soal cara pikir. Pemerintah bisa saja memangkas anggaran, tapi kalau mentalitas kita masih permisif terhadap pemborosan, revolusi efisiensi ini hanya akan jadi slogan kosong.

Efisiensi itu harus menjadi kebiasaan. Harus melekat dalam cara kita bekerja, cara kita mengelola sumber daya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah bisa menghemat triliunan rupiah, tapi kalau kita sebagai masyarakat tetap boros dan tidak peduli, perubahan ini tidak akan terasa.

Masyarakat juga punya peran besar. Mengawasi, mempertanyakan, dan memastikan bahwa efisiensi ini bukan sekadar wacana. Kalau ada pejabat yang masih boros, kita harus berani bersuara. Kalau ada kebijakan yang tidak masuk akal, kita harus menuntut transparansi. Tidak bisa hanya pasrah dan menunggu perubahan dari atas.

Perubahan besar tidak terjadi dalam semalam. Jepang, Jerman, Korea Selatan, semua butuh waktu puluhan tahun untuk membangun budaya efisiensi. Tapi mereka berhasil. Karena mereka disiplin, konsisten, dan sadar bahwa efisiensi bukan sekadar penghematan, tapi strategi untuk menjadi bangsa yang lebih maju.

Jadi, pertanyaannya bukan hanya untuk pemerintah, tapi juga untuk kita semua. Apakah kita siap mengubah kebiasaan lama dan menjadikan efisiensi sebagai budaya nasional? Ataukah kita hanya akan menunggu, berharap perubahan datang, tanpa ikut mengambil bagian?

Perubahan tidak datang dari sekadar harapan, tapi dari tindakan nyata. Kita bisa memilih untuk tetap nyaman dalam kebiasaan lama, atau bangkit dan menjadi bagian dari revolusi efisiensi ini. Sebab, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menunggu perubahan, tetapi yang menciptakannya. Mari kita resapi Bersama!*

Erkata Yandri, Praktisi di bidang Management Productivity-Industry/peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.