
JAKARTA – Nilai tukar (kurs) rupiah dibuka menguat signifikan pada perdagangan Kamis (11/9) pagi, terdorong oleh rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) dari sisi produsen yang lebih rendah dari perkiraan pasar. Penguatan ini meningkatkan optimisme bahwa Bank Sentral AS, The Fed, akan segera memangkas suku bunga acuannya.
Pada pembukaan perdagangan, kurs rupiah terapresiasi 19 poin atau 0,12 persen ke level Rp16.451 per dolar AS, dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya di Rp16.470 per dolar AS.
Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, mengatakan faktor utama penguatan rupiah hari ini adalah data Producer Price Index (PPI) AS untuk bulan Agustus 2025 yang secara mengejutkan menurun 0,1 persen. Angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksikan kenaikan sebesar 0,3 persen.
“Rupiah pada perdagangan hari ini diperkirakan menguat di kisaran Rp16.400-Rp16.500, dipengaruhi oleh faktor global melemahnya indeks dolar sehubungan dengan data inflasi dari sisi produsen yang lebih rendah dari ekspektasi pasar,” ujar Rully kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Baca juga:
Rupiah Berpotensi Melemah Terbatas di Tengah Tekanan Risk-Off
Menurut Rully, data PPI yang rendah mengindikasikan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan AS tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Hal ini disebabkan oleh tingkat kompetisi yang ketat, sehingga produsen cenderung menekan margin keuntungan dan meningkatkan efisiensi ketimbang menaikkan harga jual.
“Inflasi sisi produsen AS yang rendah meningkatkan ekspektasi penurunan bunga acuan The Fed,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rully memproyeksikan bahwa dalam jangka menengah hingga panjang, nilai tukar rupiah berpotensi untuk kembali menguat secara signifikan ke level fundamentalnya.
“Dengan dolar AS yang sudah melemah 10 persen sejak level terkuatnya karena isu tarif, seharusnya dalam jangka menengah-panjang rupiah setidaknya menguat lebih dari 10 persen kembali ke level Rp15 ribuan,” pungkasnya.
