45 views 4 mins 0 comments

Salju di Hati Presiden

In Kolom
August 01, 2025

JAKARTA  – Dalam riuh rendah politik negeri ini, jarang ada pemimpin yang mau berdiri tegak tanpa dendam. Jarang ada pemimpin yang memilih memaafkan, bahkan kepada mereka yang pernah menebar fitnah, membangun narasi buruk, dan mengukir luka politik di masa lalu. 

Di saat banyak pemimpin lebih sibuk menghitung siapa kawan dan siapa lawan, Prabowo Subianto justru menunjukkan sesuatu yang jarang terlihat: hati yang seputih salju, tulus tanpa pamrih, besar tanpa batas.

Immanuel Ebenezer, seorang yang dulu berada di seberang barisan Prabowo saat Pilpres 2014 dan 2019, kini menyaksikan langsung bagaimana karakter sejati itu muncul ke permukaan. Sebagai Ketua Relawan Prabowo Mania 08, Noel melihat amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong bukan sekadar kebijakan hukum, melainkan cerminan jiwa seorang pemimpin yang berani memilih jalan memaafkan ketimbang membalas. Jalan yang hanya bisa ditempuh oleh orang-orang yang hatinya telah berdamai dengan masa lalu.

Kasus Hasto menjadi contoh paling jelas. Isu hoaks mengenai “tamparan” yang diduga dilakukan Prabowo terhadap seorang Wakil Menteri, sempat jadi senjata politik yang menggores reputasi beliau. Kalimat Hasto, “kalau tidak ada asap, tidak mungkin ada api,” secara tidak langsung melegitimasi narasi yang belum tentu benar. 

Dalam politik, tuduhan seperti itu biasanya berujung panjang, menjadi dendam, tuntutan hukum, dan balas menyerang. Tetapi Prabowo memilih sebaliknya. Alih-alih menutup pintu dan memperpanjang perseteruan, ia malah membuka ruang maaf dan memberikan amnesti. Inilah titik di mana publik diajak melihat, bahwa kebesaran jiwa seorang presiden tidak lahir dari kata-kata, tetapi dari keberanian bertindak tanpa dendam.

Demikian pula pada kasus Tom Lembong. Tuduhan korupsi impor gula yang sempat ramai disebut sebagai “pesanan istana” menjadi alasan bagi sebagian fans Tom Lembong untuk merendahkan Presiden Prabowo. Namun lagi-lagi, Prabowo menunjukkan sikap yang sama. Alih-alih menghukum lebih keras, beliau menghentikan proses hukum melalui abolisi. 

Sebuah langkah yang bagi sebagian orang mungkin kontroversial, tapi di mata Noel, itu adalah bukti ketulusan yang sulit dibantah. Ketulusan untuk melepaskan masa lalu, mengutamakan masa depan, dan mengembalikan fokus bangsa pada persatuan, bukan perpecahan.

Noel menyebut Presiden Prabowo berhati putih seperti salju. Salju yang memberi dingin namun menenangkan, yang menyelimuti segala noda dan memutihkan lanskap yang kotor. Namun Noel juga memberi catatan penting: di tengah putihnya salju itu, masih ada kemungkinan hadirnya serigala berbulu domba yang lapar dan rakus. 

Artinya, memaafkan tidak selalu membuat orang berubah. Ada yang tetap setia pada keburukannya, ada yang memanfaatkan kebaikan itu untuk berburu kembali. Di titik ini, kebesaran hati Prabowo diuji, apakah ia akan tetap konsisten memaafkan, atau suatu saat harus bertindak tegas ketika kebaikan itu dikhianati.

Esai ini bukan sekadar pujian kosong. Ia adalah refleksi kritis tentang kualitas kepemimpinan yang jarang muncul di tengah politik transaksional. Noel melihat langsung bagaimana seorang Prabowo memilih jalan memaafkan, bukan karena lemah, tapi karena sadar bahwa dendam tidak pernah membangun bangsa. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi menandai awal baru bagi perjalanan Indonesia ke depan.

Ketika publik masih terjebak dalam prasangka dan tuduhan lama, amnesti dan abolisi ini menjadi pengingat bahwa presiden yang mereka pilih kini berdiri di atas semua luka masa lalu. 

Dalam kebeningan salju yang membalut hatinya, Prabowo mengajarkan bahwa kebesaran seorang pemimpin bukan diukur dari seberapa banyak lawan  yang ia kalahkan, tetapi seberapa banyak lawan yang ia ampuni. Dan di situlah, sejarah akan menilai dengan jujur, bahwa kebesaran itu nyata, bukan sekadar narasi politik.

Immanuel Ebenezer, Ketua Umum Prabowo Mania.