
JAKARTA – Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong Shyun Tsai melarang total vape, dan akan memenjarakan bagi yang melanggarnya. Menurut Wong Shyun vape adalah sangat adiktif dan setara dengan narkoba. Singapura bukan negara pertama di dunia yang melarang vape, tetapi setidaknya tercatat sudah 22 negara di dunia yang telah melarang vape, antara lain: Aegentina (sejak 2011), Brasil (2014), Mesir, India, Brunei Darussalam, Uruguay, Yordania, Uni Emirat Arab, Vietnam, Turki, Tiongkok, Taiwan, Thailand, dll. Langkah Singapura dan negara² yg tlh melarang vape adalah sangat positif, khususnya untuk melindungi anak, anak, remaja dan generasi mudanya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Inilah yang membedakan secara ekstrim, di Indonesia justru terjadi fakta dan fenomena yang amat paradoks. Sebab, terbukti tingkat prevalensi rokok elektrik di Indonesia mengalami lompatan 10 kali lipat, sejak 2019 hanya 0,3% saja; dan pada 2021, mencapai 3 persen.
Kemudian, paradoks yang kedua, disaat meningkatnya prevalensi merokok elektronik dan juga rokok konvensional yang kini mencapai 32 persen; regulasi yang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok, malah mangkrak, belum di implementasikan. Regulasi tersebut adalah PP 28/2024 tentang Kesehatan, padahal seharusnya PP 28/2024 diberlakukan sejak disahkan, yaitu 2024. Namun hingga kini Kemenkes belum berhasil membuat Permenkes, sebagai instrumen operasional untuk memberlakukan ketentuan di dalam PP 28/2024 ttg Kesehatan. PP 28/2024 memandatkan beberapa poin pasal yang bertujuan untuk mengendalikan peredaran, periklanan, promosi, dan konsumsi rokok; termasuk rokok elektronik.
Baca juga:
‘Paradoks Hilirisasi: Dilema di Balik Janji Energi Bersih’
Sangat disayangkan dan menjadi ironi jika PP 28/2024 tetap dimangkrakkan oleh Presiden Prabowo, padahal dengan PP 28/2024 inilah menjadi instrumen untuk melindungi anak anak, dan remaja. Sehingga upaya/target untuk mewujudkan bonus demografi, generasi emas, plus asta cita sbg kredo program utama, akan tercapai. Dan sebaliknya, jika konsumsi dan prevalensi konsumsi rokok tanpa dikendalikan, dan PP 28/2024 tetap mangkrak; maka target bonus demografi, generasi emas dan asta cita ala Presiden Prabowo hanya akan menjadi fenomena “amsyiong” saja, alias mitos. Tabik …*
Tulus Abadi, Pegiat Perlindungan Konsumen, dan Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia
