136 views 11 mins 0 comments

Sulitnya Menyeberang Jalan di Kota Padat Lalu Lintas

In Kolom
June 25, 2025

JAKARTA – Bagi warga kota-kota besar di Indonesia—Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Medan—menyeberang jalan bukan lagi sekadar rutinitas biasa, melainkan ujian nyali. Seharusnya, menyeberang adalah hak dasar: setiap orang berhak bergerak bebas di ruang publik. 

Namun, di tengah padatnya lalu lintas dan arus kendaraan yang nyaris tak pernah jeda, pejalan kaki justru seringkali terpinggirkan. Yang semestinya mudah dan aman, malah berubah jadi momen menegangkan, bahkan mengancam nyawa. Persoalannya bukan cuma rasa tidak nyaman, melainkan juga keselamatan, waktu yang terbuang percuma, dan hak pejalan kaki yang terus diabaikan.

Bagi pejalan kaki—apalagi lansia, anak-anak, ibu menggendong balita, dan penyandang disabilitas—jalan raya sering kali terasa tidak ramah. Justru sebaliknya, jalan menjadi arena adu deru mesin, klakson, dan kendaraan yang melaju cepat. Seolah-olah, jalan hanya milik kendaraan bermotor. Padahal, kota yang maju bukan diukur dari lebarnya jalan atau lancarnya lalu lintas, melainkan dari seberapa aman dan nyaman warganya berjalan kaki dan menyeberang.

Lalu, mengapa menyeberang jalan di kota-kota besar bisa sedemikian sulit? Apa yang salah dengan tata kelolanya? Apa yang bisa dilakukan untuk membuatnya lebih aman dan nyaman? 

Zebra Cross Hanya Pajangan, Nyali Tetap Jadi Andalan

Menyeberangi jalan di kota besar nyaris seperti menantang maut. Zebra cross memang ada, tapi jangan harap pengendara bakal patuh. Masih saja pada ngebut, bahkan ketika ada pejalan kaki yang sudah berada di atas garis penyeberangan. Ironisnya lagi, banyak zebra cross justru berada di titik-titik yang tidak strategis, jauh dari halte, dari pusat keramaian, atau jalur pejalan kaki yang aktif digunakan. 

Jembatan penyeberangan pun kerap terlalu tinggi dan tidak ramah bagi lansia atau penyandang disabilitas. Tak sedikit pula yang dibiarkan kusam, sempit, bahkan tidak terawat kayak bangunan terlantar. Alhasil, jembatan yang harusnya jadi solusi malah berubah jadi rintangan. Maka, jangan heran bila banyak orang akhirnya memilih “potong kompas”, nekat menyeberang langsung di tengah jalan. Bukan karena tak tahu risiko, tapi karena itulah opsi paling masuk akal di tengah tata kota yang tak berpihak pada pejalan kaki.

Di beberapa lokasi, tidak ada fasilitas penyeberangan sama sekali, memaksa orang untuk mencari celah di antara arus kendaraan yang melaju cepat. Akibatnya, pejalan kaki terpaksa “bernegosiasi” dengan arus kendaraan yang tak pernah jeda, mereka harus gesit menengok kanan-kiri dengan was-was, lalu buru-buru berlari kecil sambil berharap pengemudi melambat. 

Praktik ini tak hanya melelahkan dan berbahaya, tetapi juga menunjukkan kegagalan kota dalam menyediakan ruang publik yang aman dan ramah bagi semua warganya. Menyeberang jalan pun akhirnya lebih mengandalkan nyali dan refleks, bukan sistem kota yang semestinya menjamin keselamatan.

Lalu Lintas Kita Maju Kendaraannya, Tertinggal Budayanya

Fenomena ini jadi cermin betapa budaya berlalu lintas kita belum berpihak pada pejalan kaki. Di banyak negara maju, mobil otomatis melambat atau berhenti begitu melihat ada orang berdiri di zebra cross. Di sini, yang terjadi justru sebaliknya: klakson dibunyikan sebagai peringatan agar pejalan kaki minggir. 

Bahkan tak sedikit, pengemudi malah menambah kecepatan saat melihat ada yang hendak menyeberang. Zebra cross seolah kehilangan makna, sekadar hiasan aspal, dan pejalan kaki diperlakukan seperti pengganggu arus lalu lintas. Situasi ini menunjukkan betapa minimnya empati, rendahnya penghormatan terhadap hak pejalan kaki, dan absennya budaya berbagi ruang yang adil di jalan.

Budaya pengemudi yang abai terhadap hak pejalan kaki tidak lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari kelalaian sistemik yang sudah berlangsung lama— dari regulasi yang lemah, pendidikan yang setengah hati, hingga praktik harian yang terus dibiarkan. hingga praktik sehari-hari di lapangan. Dalam ujian surat ijin mengemudi (SIM), nyaris tidak ada materi yang menekankan pentingnya menghormati hak pejalan kaki, apalagi kewajiban berhenti di zebra cross. 

Sekolah mengemudi pun lebih banyak fokus pada soal teknis, seperti cara gas-rem, cara parkir atau mengoperasikan setir, ketimbang menanamkan etika berkendara yang menghargai sesama pengguna jalan. Polisi lalu lintas? Jarang menindak tegas pelanggaran di zebra cross. Lebih jauh lagi, banyak orang belajar menyetir dari orang tua atau teman yang justru mewariskan kebiasaan lama—kebiasaan yang tak pernah menganggap pejalan kaki sebagai prioritas di jalan raya.

Ketimpangan Budaya Antar Negara

Banyak turis asing dibuat kaget ketika mencoba menyeberang jalan di Indonesia. Mereka datang dengan asumsi bahwa zebra cross memiliki kekuatan hukum dan moral. Jadi, mereka berdiri di tepi jalan, yakin kendaraan akan berhenti. Tapi kenyataan berkata lain: nyaris tak ada kendaraan yang peduli. Tidak sedikit yang nyaris tertabrak karena keliru memahami “budaya lalu lintas” lokal. Di Indonesia, zebra cross lebih sering jadi dekorasi jalan ketimbang penanda hak pejalan kaki.

Lucunya, saat orang Indonesia bepergian ke negara seperti Jepang, Jerman, atau Australia, justru mereka yang bingung ketika mobil-mobil berhenti memberi jalan. Alih-alih langsung nyebrang, malah bengong, ragu-ragu, kikuk—karena terbiasa di Indonesia harus “mengalah” dan menunggu kendaraan lewat. Padahal di sana, pengemudi malah kesal, karena pejalan kaki terlalu lama menunda langkah. Ini bukan soal siapa yang salah atau benar, tapi menunjukkan betapa jauhnya jurang budaya berlalu lintas kita dibanding negara-negara yang lebih menghargai hak pejalan kaki.