137 views 11 mins 0 comments

Sulitnya Menyeberang Jalan di Kota Padat Lalu Lintas

In Kolom
June 25, 2025

Desain Kota: Megah untuk Kendaraan, Bahaya untuk Pejalan

Sulitnya menyeberangi jalan juga memperlihatkan betapa desain kota-kota kita masih mengabaikan keberadaan pejalan kaki. Jalan terus diperlebar, flyover dibangun, tapi semua itu umumnya hanya demi kelancaran kendaraan bermotor. Sementara kebutuhan dasar warga untuk berjalan dengan aman dan nyaman justru terpinggirkan. Trotoar sempit, tak ada ruang aman di tengah jalan untuk berpijak, dan zebra cross yang tak terhubung dengan halte atau stasiun angkutan umum—semua itu menandakan betapa rendahnya prioritas kota terhadap pejalan kaki.

Mau ngajak orang naik transportasi umum? Mulailah dari mempermudah akses pejalan kaki —termasuk kemudahan menyeberang jalan. Sebab kalau untuk mencapai halte atau stasiun saja orang harus bertaruh nyawa, jangan heran kalau minat naik angkutan umum tetap rendah.

Kota-kota seperti Seoul, Paris, atau Bogota, telah lama menyadari bahwa mengutamakan kendaraan pribadi justru memperburuk kualitas hidup. Mereka mulai merebut kembali ruang jalan untuk pejalan kaki dan pesepeda, membangun budaya toleransi di lalu lintas, dan perlahan menggeser prioritas: dari kecepatan kendaraan ke keselamatan warga. Hasilnya? Kota lebih manusiawi, macet berkurang, warganya pun happy.

Solusi Nyata Menuju Kota Ramah Pejalan Kaki

Untuk memperbaiki situasi ini, berikut sejumlah langkah konkret yang bisa dilakukan berikut ini.

Pertama, Revitalisasi fasilitas penyeberangan harus jadi prioritas. Mulai dari menambah zebra cross di titik-titik strategis, memperbaiki pencahayaan di malam hari, hingga memasang pelican crossing otomatis, dan membenahi jembatan penyeberangan orang (JPO) agar ramah bagi lansia (lanjut usia) serta penyandang disabilitas. Rambu dan marka harus jelas dan mudah dipahami. Di sejumlah kota dunia bahkan sudah memakai lampu penyeberangan adaptif berbasis sensor atau AI yang bisa menyesuaikan durasi nyala lampu berdasarkan jumlah pejalan kaki. Teknologi ini bukan hanya mengurangi waktu tunggu, tapi juga meningkatkan keselamatan secara signifikan.

Kedua, Materi ujian SIM dan kurikulum sekolah mengemudi perlu segera direvisi. Edukasi tentang hak pejalan kaki harus dimasukkan sebagai bagian penting, agar pengemudi tak hanya piawai mengendalikan kendaraan, tapi juga paham etika berbagi jalan. Pengemudi perlu paham, bahwa menghormati pejalan kaki adalah kewajiban hukum sekaligus cerminan budaya berlalu lintas yang beradab.

Ketiga, Penegakan hukum harus tegas dan konsisten. Pengemudi yang tidak memberi prioritas kepada pejalan kaki di zebra cross harus ditilang tanpa pandang bulu. Selama aturan hanya jadi hiasan tanpa sanksi nyata, pelanggaran akan terus dianggap biasa.

Keempat, Kampanye budaya lalu lintas harus digencarkan, bukan hanya seremonial. Libatkan media, sekolah, hingga komunitas untuk menanamkan empati di jalan raya—terutama soal pentingnya menghormati hak pejalan kaki. Karena budaya berkendara yang beradab tidak lahir dari aturan semata, tapi dari kesadaran bersama.

Kelima, Desain kota harus dirombak dengan orientasi pada manusia, bukan semata kendaraan. Prinsip walkable city harus diterapkan, dengan integrasi antara moda transportasi dan ruang pedestrian. Prioritas pembangunan tak lagi bisa hanya berdasarkan kecepatan mobil, tapi pada kenyamanan dan keselamatan warganya saat berjalan kaki.

Waktunya Memanusiakan Jalan

Menyeberangi jalan tidak seharusnya menjadi adu nyali. Ia mencerminkan seberapa beradab sebuah kota memperlakukan warganya. Mobilitas bukan cuma soal kendaraan bermotor, tapi tentang bagaimana setiap orang—termasuk anak-anak dan lansia—bisa berpindah tempat dengan aman dan nyaman. Kalau kita bisa bangga dengan jalan layang dan jembatan megah, tapi seorang anak masih takut melangkah di zebra cross, maka kota ini belum benar-benar layak huni.

Kota yang baik adalah kota yang memanusiakan jalan. Bukan sekadar membanggakan tol layang atau flyover megah, tapi yang menghadirkan rasa aman bagi seorang nenek yang menyeberang, anak kecil yang berjalan ke sekolah, atau penyandang disabilitas yang menuju halte. Ukuran kemajuan kota bukan kecepatan kendaraan, tapi seberapa layak dan aman ruang publiknya untuk semua warganya.

Sudah waktunya kota-kota kita berpihak pada manusia. Jalan bukan milik eksklusif mereka yang berkendara. Jalan adalah ruang bersama. Dan menyeberang jalan bukan seharusnya jadi ujian nyali, tapi hak dasar yang dijamin oleh kota yang beradab.*

Muhammad Akbar, Pemerhati Transportasi.