
Kebijakan untuk merelokasi warga Gaza ke Indonesia tentu memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi. Dari level domestik Indonesia, kemungkinan besar akan ada resistensi-resistensi yang datang dari masyarakat, terutama mereka yang berasal dari wilayah yang akan dijadikan tempat untuk relokasi.
Sederhananya, kita dapat belajar dari kasus penolakan warga Indonesia terhadap etnis Rohingya yang mengungsi ke Indonesia. Masih dari level domestik, kebijakan relokasi ini membutuhkan perencanaan yang betul-betul matang dalam bentuk wilayah yang akan dijadikan titik relokasi, anggaran negara untuk transportasi dan menjamin kelangsungan hidup warga Gaza selama di Indonesia, nota kesepahaman dengan otoritas Palestina, serta pendekatan sosiologis dan budaya agar warga yang direlokasi dapat berdampingan hidup secara damai dengan warga lokal Indonesia.
Dari sisi politik luar negeri, upaya konkret Indonesia merelokasi warga Gaza akan membuat Indonesia terlibat secara langsung ke dalam konflik Palestina dan Israel. Keterlibatan secara langsung ini akan membawa konsekuensi yang tidak sederhana mengingat Israel tidak segan melakukan konfrontasi militer terhadap negara-negara pendukung Palestina seperti yang mereka lakukan pada Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman.
Israel juga sangat potensial untuk melobi negara-negara sekutunya di Amerika dan Eropa untuk menyerang lawan politiknya melalui instrumen global dan regional seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang melabeli Hizbullah dan Houthi yang pro-Palestina sebagai gerakan teroris.
Tak hanya itu, Amerika Serikat yang saat ini sedang menjalankan perang tarif di level global untuk mereposisi statusnya sebagai negara adidaya dunia dinilai tak akan segan untuk melakukan decoupling terhadap negara-negara yang vokal membantu Palestina.
Strategi Indonesia
Bagaimana Indonesia merespons risiko-risiko tersebut apabila tetap persisten melanjutkan inisiatif relokasi warga Gaza ke Indonesia? Pertama dari level domestik. Pemerintah perlu meyakinkan seluruh elemen masyarakat di Indonesia bahwa upaya relokasi sementara ini sesuai dengan amanat konstitusi untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Komitmen untuk membantu Palestina sebagai bangsa terjajah bahkan sudah disuarakan oleh para pendiri bangsa sejak Indonesia merdeka pada 1945, yang artinya komitmen tersebut harus direalisasikan secara konkret. Dari sisi anggaran, kunjungan Presiden Prabowo ke negara-negara kunci di Timur Tengah dan Turki besar kemungkinan salah satunya adalah kebutuhan untuk dukungan anggaran.
Jika Presiden Prabowo mampu meyakinkan para pemimpin negara-negara tersebut, variabel anggaran tentu bukan menjadi persoalan besar, sedang di sisi lain Indonesia potensial mendapatkan dukungan investasi di berbagai sektor seperti pangan, energi, maritim, serta pertahanan untuk mendukung program-program strategis pemerintah ke depan.
Terkait resistensi masyarakat, pemerintah dapat melakukan dialog dan diskusi kelompok terfokus dengan ormas-ormas keagamaan untuk menjelaskan rasionalisasi pemerintah dan mendukung pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakan kepada masyarakat.
Sedang dari sisi internaisional dan global, hal yang pertama dan utama yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu RI adalah meyakinkan komunitas internasional baik state actors maupun non-state actors bahwa inisatif Indonesia untuk merelokasi warga Gaza secara sementara merupakan komitmen yang murni kemanusiaan dan bukan menjadi bagian dari proksi politik negara ataupun komunitas apapun.
Komitmen mulia Indonesia ini memang sangat rentan dari tudingan dan fitnah politik karena dianggap sebagai bagian dari skema Amerika Serikat dan Israel untuk mengosongkan Gaza demi memuluskan Israel merebut wilayah tersebut sebagaimana yang dilakukan terhadap Tepi Barat. Dalam skema relokasi, Indonesia harus jeli dalam implementasi. Yang menjadi prioritas relokasi adalah anak-anak, perempuan, dan para lansia.
Sedangkan para kombatan tetap berada di medan perang untuk mempertahankan tanah airnya. Di sisi lain, Indonesia dan negara-negara pro-Palestina perlu mendesak PBB segera untuk menerjunkan pasukan penjaga perdamaian mengingat Israel sudah jelas-jelas melanggar hukum internasional. Desakan ini perlu dimanifestasikan dalam mekanisme artikulasi kepentingan yang memiliki bobot besar seperti melalui mekanisme negara-negara ASEAN, OKI, ataupun peratifikasi ICC.
Sempat muncul kekhawatiran bahwa jika benar inisiatif relokasi warga Gaza ke Indonesia menjadi kenyataan, maka Amerika Serikat akan melakukan tekanan terhadap Indonesia yang saat ini menjadi objek kebijakan tarif resiprokal yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara di dunia.
Kekhawatiran ini mungkin berasalan. Namun demikian, perang tarif yang dilancarkan oleh Amerika Serikat ini seyogianya menjadi motivasi bagi pemerintah untuk memperbaiki kinerja perekonomian nasional dengan mencari negara-negara tujuan ekspor baru dan melepaskan ketergantungan terhadap negara-negara besar. Terlebih lagi Indonesia sudah bergabung ke dalam BRICS yang artinya memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan pangsa pasar produk-produk Indonesia.
Demikian pula halnya dengan penjajakan untuk menjalankan kebijakan konektivitas maritim Selatan-Selatan. Poinnya, jangan sampai pertimbangan ekonomi yang notabene bisa ditangani menjadi penghalang untuk komitmen kemanusiaan yang lebih besar.*
Boy Anugerah, Pengamat Hubungan Internasional.
