
JAKARTA – Meninggalnya Muhammad Athaya Helmy Nasution (19), di Groningen, Belanda, pada 27 Agustus 2025. Kematian Ataya, yang diduga akibat kelelahan, hipoglikemia, dan heat stroke, menjadi sorotan karena terjadi saat ia mendampingi delegasi DPR RI Komisi XI dalam kunjungan kerja ke Wina, Austria.
Kematiannya memicu banyak pertanyaan mengenai perlakuan terhadap mahasiswa pendamping dan transparansi agenda kunjungan kerja pejabat. Fakta mengungkap bahwa Ataya adalah mahasiswa yang mendampingi Erik Hermawan dari Partai Golkar. Kunjungan kerja tersebut, yang berlangsung selama enam hari dari 25 hingga 31 Agustus, ternyata hanya mencakup sekitar 2,5 jam kegiatan kerja di Austrian Court of Audit pada hari ketiga.
Sisa waktu dihabiskan untuk kegiatan wisata mewah, termasuk berbelanja di designer outlet, menaiki kereta kuda, dan bersantap di restoran berbintang Michelin, dengan biaya menginap di Vienna Marriott Hotel mencapai Rp6 juta per malam. Joseph Wenas, seorang analis intelijen yang diwawancarai, memaparkan hasil riset yang menunjukkan detail agenda perjalanan para delegasi DPR.
Baca juga:
Korban Kunjungan DPR ke Eropa
Setiap delegasi mendapatkan satu liaison officer (LO) dan satu sopir pribadi, serta kendaraan mewah seperti Mercedes VCL. Informasi ini, yang didapat dari bocoran itinerary, menggambarkan gaya hidup pejabat yang sangat mewah, jauh dari citra kunjungan kerja yang sebenarnya, dan berlangsung di tengah situasi politik yang memanas dengan demonstrasi di Jakarta.
Ketua PPI Belanda 2023-2024, Ahmad Abian Ausaf (Abi), mengungkapkan bahwa mahasiswa sering mengambil pekerjaan pendampingan ini untuk mencari tambahan biaya hidup, meskipun terkadang dengan kontrak yang tidak jelas. Dalam kasus Ataya, informasi mengenai pekerjaan ini awalnya disebut didapatkan melalui PPI dan KBRI, namun Abi mengklarifikasi bahwa kemungkinan besar ini adalah inisiatif personal, bukan kelembagaan, dan proses rekrutmennya kurang terkoordinir dengan PPI Belanda.
Ataya dan teman-temannya bahkan diminta merahasiakan aktivitas tersebut dan tidak diberitahu detail agenda atau siapa yang akan mereka dampingi. Keluarga Ataya dan PPI menyatakan kekecewaan mendalam atas kurangnya empati dari delegasi dan pihak terkait pasca-kematian. Meskipun KBRI di Wina merespons untuk mengurus jenazah, proses pemulangan memakan waktu sembilan hari.
