
Ketiga, dalam menjalankan peran dan fungsinya, komunitas intelijen negara masih cenderung mendefinisikan ancaman secara sepihak. Pendefinisian ancaman secara sepihak ini sangat berbahaya karena berpotensi menabrak demokratisasi, potensi terjadinya pelanggaran HAM, serta membahayakan kepentingan nasional. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan komunitas intelijen negara dalam pengamanan proyek-proyek strategis nasional, khususnya IKN.
Komunitas intelijen negara bisa secara sepihak menafsirkan rakyat yang menolak proyek sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional tanpa menimbang apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi rakyat, apakah ada hak adat dan tanah ulayat yang dilanggar, kompensasi yang tidak sesuai, dan sebagainya.
Keempat, terkait pemutakhiran teknologi intelijen pertahanan. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, operasi-operasi intelijen nasional masih digarap secara konvensional dengan mengandalkan telik sandi lapangan.
Komunitas intelijen pun terkesan masih “menumpang” pada sistem dan peralatan yang dimiliki dan dibangun oleh entitas lain seperti face recognition yang dimiliki oleh pihak imigrasi dan perbankan, CCTV perusahaan-perusahaan swasta, serta profiling yang dilakukan oleh lembaga sipil. Jika menilik postur ancaman nasional, sudah saatnya kita mengembangkan teknologi intai berbasis satelit militer, serta adanya satu basis data untuk komunitas intelijen negara secara nasional.
Saran kebijakan
Dengan berpijak pada catatan-catatan tersebut, maka hal-hal yang bisa diajukan penulis sebagai saran untuk revisi UU Intelijen Negara antara lain, pertama; penguatan peran BIN sebagai lembaga yang menjalankan fungsi koordinir terhadap komunitas intelijen negara secara nasional. Perlu dievaluasi secara menyeluruh tingkat kepatuhan lembaga-lembaga negara lainnya dalam menjalankan fungsi koordinasi terhadap BIN.
Jika koordinasi antarlembaga berlangsung solid, maka dapat memudahkan fungsi pengawasan parlemen dan masyarakat sipil terhadap penyelenggaran fungsi intelijen negara. Kedua, operasi-operasi yang dijalankan oleh komunitas intelijen perlu mendapatkan persetujuan dari lembaga pengawas, dalam hal ini parlemen. Jadi pengawasan yang dilakukan oleh parlemen bukan terbatas pada kegiatan yang sudah dilakukan, melainkan pada proses perencanaan.
Hal ini penting untuk mengeliminir secara legal konstitusional habituasi kerahasiaan dan sifat senyap dalam operasi-operasi intelijen demi mewujudkan intelijen negara yang profesional dan tepat guna. Ketiga, pengadaan alutsista TNI dan Polri, serta pengembangan industri strategis nasional harus berjalan linier dan paralel dengan kebutuhan intelijen mengingat TNI dan Polri yang juga menjalankan fungsi intelijen.
Dalam konteks ini, pemenuhan kebutuhan anggaran intelijen mutlak diperlukan. Terakhir, sangat penting untuk memiliki satelit pertahanan militer dan satu basis data intelijen yang dijadikan rujukan bersama oleh komunitas intelijen negara, pusat dan daerah. Penggunaan teknologi sedemikian, bukan saja mendukung efektivitas dan efisiensi kerja, tapi juga mengeliminasi potensi silo organization.*
Boy Anugerah, Pengamat Militer dan Hubungan Internasional.
