
JAKARTA – IKN dulu dijual sebagai simbol kemajuan, kota hijau, smart city, masa depan Indonesia. Tapi sekarang? Presiden saja memilih tidak merayakan 17 Agustus di sana. Pertanyaannya sederhana saja:
Kalau presidennya saja enggan, bagaimana rakyat dan investor mau percaya?
IKN perlahan berubah dari ibu kota harapan jadi ibu kota keraguan. Dari “kota masa depan” menjadi proyek masa lalu yang dipaksa hidup. Jangan-jangan nanti jadi monumen beton mahal di tengah hutan, lengkap dengan plang: “Selamat Datang di Kota Mati Nusantara”.
Soal Amdal?
Ada dugaaan hutan Kalimantan dikorbankan demi beton, air bersih terancam, ekosistem juga terancam. Pembangunan yang katanya berwawasan lingkungan malah seperti operasi plastik gagal: wajahnya baru, tapi organ dalamnya rusak.
Ironisnya, IKN sejak awal lebih mirip proyek mercusuar dan proyek gengsi ketimbang kebutuhan. Saat rakyat sibuk dengan mahalnya harga beras, mahalnya biaya sekolah, dan masalah lapangan kerja. Tapi pada saat itu negara justru sibuk membangun istana di tengah hutan.
Jika arah pembangunan tetap seperti ini, IKN bisa jadi hanya akan dikenal sebagai ibu kota brosur—indah di presentasi, mewah di maket, tapi kosong di kenyataan.
Akhir kata, di usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini layak bertanya: apakah warisan IKN akan tercatat sebagai kota impian yang hidup, atau sekadar kota hantu yang membebani generasi mendatang?*
Didi Irawadi Syamsuddin, Politikus Partai Demokrat.
