
JAKARTA – Di usia yang masih cukup ‘belia’, ia sudah tertarik dengan dunia politik. Tepatnya saat masih duduk bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Zulfan Lindan, lelaki kelahiran Aceh ini, lantas menjelma menjadi politikus kawakan di kemudian hari.
Saat mahasiswa, Zulfan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi pemuda Islam yang banyak mencetak pemimpin-pemimpin ulung di Tanah Air. Sebagai aktivis pemuda Islam, Zulfan pun gemar menyelami pikiran-pikiran para intelektual Islam macam Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Abdul Kadir Audah, maupun Mustafa as-Siba’i.
Pergaulannya dengan kalangan aktivis maupun politisi pun makin meluas, di antaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Jimly Asshiddiqie, dan beberapa politikus tenar waktu itu. Pergaulan dan perkawanan yang makin membentuk karakternya.
Ia pun secara resmi terjun ke dunia politik saat bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Partai inilah yang pertama kali mengantarkannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 1999-2004.
Namun, sejak 2013 Zulfan pindah haluan dan berlabuh ke Partai NasDem. Ia kembali berhasil masuk Senayan sebagai anggota parlemen untuk periode 2014-2019. Di partai besutan Surya Paloh ini, Zulfan juga dipercaya sebagai salah satu Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) yang membidangi energi, sumber daya alam (SDA), dan lingkungan hidup.
Pernyataannya yang menyebut Anies Baswedan sebagai antitesa Jokowi berbuntut panjang, hingga menyebabkan hengkang dari Partai NasDem.
“Jadi begini, ini sudah kita kaji dengan pendekatan filsafat dialektika. Ini dengan pendekatan filsafatnya Hegel,” kata Zulfan dalam program Adu Perspektif bertema ‘Adu Balap Deklarasi, Adu Cepat Koalisi’ yang disiarkan Detikcom berkolaborasi dengan Total Politik.
“Jokowi ini kita lihat sebagai tesa, tesis. Berpikir dan kerja. Tesisnya kan begitu Jokowi. Lalu kita mencari antitesa. Antitesanya apa? Dari antitesa Jokowi ini, yang cocok itu Anies.”
Kini Zulfan fokus di dunia usaha dan ‘meniti’ karier sebagai “YouTuber’dengan membangun kanal podcast bernama Zulfan Lindan Unpacking Indonesia. Mengisi siniar dengan wawancara bersama sejumlah tokoh dengan beragam tema, hingga kini Unpacking telah berhasil menggaet 255 ribu subscriber. Jumlah diperkirakan bakal terus bertambah.
Kepada Totalpolitik.com, Zulfan berkisah tentang perjalanan hidupnya sebagai politisi.
Sejak kapan Anda tertarik dengan dunia politik?
Kalau tertarik sih, sejak SMA sudah tertarik dengan dunia politik. Karena saya kalau baca koran itu, habis baca olahraga, selalu saya cari rubrik politik. Baik politik nasional ataupun internasional. Makanya langganan kita kan dulu itu, sebelum ada Tempo itu, ada majalah Ekspres namanya. Kemudian baru ada Tempo, lalu Harian Merdeka. Kalau di Medan itu ada Harian Waspada, koran-koran politik. Jadi kalau tertarik politik sudah sejak SMA-lah.
Adakah sosok yang menginspirasi Anda? Kok bisa tiba-tiba langsung tertarik politik. Anak-anak SMA itu kan biasanya suka nge-band atau olahraga, misalnya?
Di Medan itu saya juga suka musik, ada aktivitas. Radio-radio amatir dulu kan. Belum ada radio profesional dulu. Kemudian olahraga sepak bola juga. Setelah lulus SMA hijrah ke Jakarta sekitar tahun 1975.
Sempat satu tahun di Bandung. Kuliah tapi nggak jelas, kurang serius. Akhirnya, 1977 masuk Jakarta lagi dari Bandung, melajutkan kuliah. Saya masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), tapi tidak selesai.
Saya mengambil dua kuliah, sorenya di Universitas Nasional (Unas) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Unas dulu FISIP-nya sore, tidak ada yang pagi. Nah, jadi waktu saya di Unas itulah saya sempat direkrut oleh aktivis-aktivis senior Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Kemudian karena saya dianggap orang Aceh, di-approach lagi sama alumni dan senior HMI. Akhirnya, saya masuk HMI. GMNI ini karena kantor DPP-nya dekat tempat saya tinggal, sehingga sering komunikasi.
Apa saja kegiatan Anda di HMI?
Setelah saya ikuti training HMI itu, saya lebih banyak aktif di luar kampus. HMI ini kan organisasi ekstra, jadi saya tidak aktif di intra. Saya aktif di ekstra HMI. Saya tidak aktif di komisariat. Saya lebih aktif di luar. Kantor cabang kita dulu kan di Jalan Cilosari. Sampai sekarang masih ada di Cilosari No. 17.
Saya lebih banyak sehari-hari di situ. Bertemu dengan kawan-kawan dari berbagai kampus. HMI ini kan dulu ada 118 komisariat. Semua komisariat itu di Jakarta aja. Dari UI, Universitas Kristen Indonesia (UKI), Trisakti, hingga Unas. Yang besar-besar kan dulu UI, IKIP, dan Unas.
Sejak dulu, Ketua Umum HMI Jakarta itu selalu dari tiga ini. Kalau nggak UI, IKIP, ya Unas. Unas baru saya sendiri pada masa itu. Jadi, selalu IKIP-UI, IKIP-UI. Pada 1982 saya masuk, berusaha menembus dominasi UI dan IKIP.
Waktu itu sudah ada pergaulan atau komunikasi dengan tokoh-tokoh politik?
Sudah. Saat baru masuk HMI pun saya sudah rajin berkomunikasi dengan Mohamad Roem, juga dengan Pak Nas (Jenderal AH Nasution). Baru dua tahun di HMI, saya berkomunikasi dengan Ahmad Soebardjo.
Kebetulan kediaman Beliau ini dekat sekali dengan kantor kita. Tepatnya di Jalan Cikini Raya. Saya kemudian berkomunikasi juga dengan tokoh-tokoh TNI seperti Ishak Djuarsa. Dengan Pak Hoegeng yang tokoh polisi. Itu kita komunikasi terus.
Nah, pada tahun 1979-1980 itu saya mendaftar kerja di Lembaga Studi Pembangunan (LSP), yang dipimpin oleh Mas Adi Swasono. Di situ ada juga Mas Cipto, Mas Dawam Rahardjo, bahkan Gus Dur. Orang-orang hebat semua itu. Saya staf waktu itu, tapi dalam diskusi kita sama.
Dalam kerja kita staf. Tapi dalam berdialog, berdiskusi, kita selalu nggak masalah. Kadang-kadang Fachry Ali gabung. Banyak sekali. Bang Jimmly Asshidique juga kadang sering datang di situ. Jenderal-jenderal yang purnawirawan juga hadir. (bersambung)