
JENEWA – Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis peringatan keras bahwa siklus air global kini menjadi semakin tidak stabil, membuat dunia terombang-ambing antara periode kekeringan parah dan bencana banjir yang merusak. Krisis ini disebut telah membebani sumber daya air tawar secara ekstrem.
Dalam laporan terbaru bertajuk “State of Global Water Resources 2024” yang dirilis pada Kamis, WMO mengungkap bahwa hanya sekitar sepertiga dari seluruh daerah aliran sungai di dunia yang mengalami kondisi aliran “normal” pada tahun lalu. Ini menandai tahun keenam berturut-turut terjadinya ketidakseimbangan hidrologi global.
“Sumber daya air dunia berada di bawah tekanan yang semakin besar. Pada saat yang sama, bencana terkait air yang lebih ekstrem semakin berdampak pada kehidupan dan mata pencaharian,” ujar Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo, dalam laporan tersebut.
Baca juga:
Dari Konsesi Ke Konsekuensi
Laporan ini menyoroti sejumlah data yang mengkhawatirkan. Laju pencairan gletser global mencapai 450 gigaton es pada tahun 2024, setara dengan volume 180 juta kolam renang ukuran Olimpiade. Pencairan ini berkontribusi langsung pada kenaikan permukaan laut global sebesar 1,2 milimeter dan meningkatkan risiko bagi ratusan juta orang di wilayah pesisir.
Dampak dari ketidakstabilan siklus air ini telah dirasakan secara nyata di berbagai belahan dunia. Afrika tropis dilanda hujan lebat yang menewaskan 2.500 orang dan membuat empat juta lainnya mengungsi. Sementara itu, Eropa mengalami banjir terparah sejak 2013, dan Brasil menghadapi paradoks bencana: banjir dahsyat di selatan dan kekeringan ekstrem di Amazon.
WMO menegaskan bahwa krisis ini tidak dapat dikelola tanpa data yang akurat. “Informasi yang andal dan berbasis sains menjadi lebih penting dari sebelumnya, karena kita tidak dapat mengelola apa yang tidak kita ukur,” kata Saulo. Ia menyerukan adanya peningkatan investasi dan kolaborasi internasional dalam pemantauan dan berbagi data untuk mencegah potensi bencana yang lebih berbahaya di masa depan.
